Senin, 07 Maret 2011

Dinasti Xià

Dinasti Xià merupakan dinasti pertama yang tercatat dalam buku sejarah Cina. Catatan sejarah paling awal ditemukan dalam buku sejarah Shàngshū yang mengatakan bahwa Dinasti Xià memiliki puluhan ribu negara upeti, sehingga secara umum menganggap Dinasti Xià adalah sebuah negara yang terbentuk dari gabungan berbagai suku bangsa, dan para sejarawan dari aliran ajaran Marxisme di Cina daratan menetapkan Dinasti Xià sebagai sebuah negara budak.
Menurut catatan buku sejarah, Dinasti Xià adalah negara yang didirikan oleh putra dari Yǔ yaitu Qǐ. Yǔ mewariskan singgasana kepada anaknya Qǐ, yang menganti cara terdahulu, Chánràngzhìdù (mewariskan singgasana kepada orang bijaksana atau yang berkemampuan - Bahasa Inggris menjadi Shìxízhì (mewariskan singgasana dari ayah kepada anak atau kepada orang yang mempunyai hubungan darah atau keluarga dekat. Dinasti Xià secara keseluruhan diwariskan sebanyak 13 generasi, 16 raja (atau 14 generasi, 17 raja, tergantung perbedaan pendapat tentang Yǔ dianggap sebagai raja Dinasti Xià atau pemimpin gabungan suku), sekitar 400 tahun, yang kemudian dimusnahkan oleh Dinasti Shang.
Xià dalam Literatur
Menurut cataran literatur kuno Cina, sebelum berdirinya Dinasti Xià, sering terjadi perang untuk memperebutkan kekuasaan sebagai pemimpin dari gabungan suku antara suku Xià dengan suku-suku di sekitarnya. Suku Xià mulai berkembang sekitar zaman Kaisar Zhuanxu pada zaman legenda Cina kuno. Banyak catatan literatur Cina kuno mencatat keberadaan suku Xià pada masa Kaisar Zhuānxù. Di antaranya Shiji, Xiàběnjì dan Dàdàilǐjì Dìxì mengatakan Yǔ adalah cucu dari Zhuānxù, tetapi ada catatan literatur lain yang mengatakan Yǔ adalah cucu generasi ke-5 dari Zhuānxù. Dari catatan-catatan literatur tersebut menunjukkan bahwa suku Xià kemungkinan besar adalah salah satu dari keturunan Zhuānxù.
Pertengahan Periode
Putra Shǎokāng, Zhù mengantikan kedudukan raja. Ia mengerti ketidak puasan suku Yí di timur terhadap Dinasti Xià, untuk memperkokoh kekuasaan di timur, ia memindahkan ibukota dari Yuán (sekarang Jǐyuán, provinsi Hénán) ke Lǎoqiū (sekarang utara dari Kāifēngxiàn, provinsi Hénán). Ia berkonsentrasi mengembangkan peralatan perang dan perlengkapan prajurit. Ia juga mengutus orang untuk menyerang suku Yí di daerah pesisir pantai timur (sekarang bagian barat provinsi Shāndōng, bagian timur provinsi Ānhuī dan sekitar provinsi Jiāngsū). Pada waktu itu, ia juga mendapatkan barang keramat, Jiǔwěihú (serigala sembilan ekor - Jepang: Bijuu). Wilayah Dinasti Xià juga pada masa pemerintahan Zhù meluas sampai kedaerah pesisir Dōnghǎi (sekarang Huánghǎi). Selama masa pemerintahan Zhù, boleh dikatakan merupakan masa paling makmur dan maju dari Dinasti Xià. Orang Xià juga sangat menghargai dan menghormati Zhù. Menurut catatan Guóyǔ Lǔyǔ menganggap Zhù secara keseluruhan mewarisi karier dari Yǔ.
Pada masa pemerintahan putra dari Zhù, Huái, suku Dōngyí dan suku Huáxià hidup dalam damai. Sembilan suku Yí (Jiǔyí): Quǎnyí, Yúyí, Fāngyí, Huángyí, Báiyí, Chìyí, Xuányí, Fēngyí, dan Yángyí yang tinggal di daerah perairan Huáihé (Sungai Huai) dan Sìshuǐ sering datang menyembah dan menyerahkan upeti. Setelah Huái meninggal, digantikan oleh putranya Máng. Setelah Máng meninggal, digantikan oleh putranya Xiè. Selama periode ini, hubungan antara suku Dōngyí dan suku Huáxià terus berkembang. Pada masa pemerintahan Xiè, suku Dōngyí pada umumnya sudah membaur dengan suku Huáxià, maka ia mengalihkan perhatiannya ke barat. Dan pada waktu itu, ia mulai melakukan anugerah tempat dan gelar kepada negara-negara upeti. Dan ini merupakan permulaan dari Zhūhóuzhì (sistem feodal) Cina beberapa abad kemudian. Setelah Xiè meninggal, putranya Bùjiàng mengantikan. Bùjiàng sempat beberapa kali memimpin pasukannya menyerang Jiǔyuàn di barat.
Akhir Periode
Setelah Bùjiàng meninggal, adiknya Jiōng mengantikannya. Setelah Jiōng meninggal, putranya Jìn mengantikannya. Jìn naik takhta tidak lama, meninggal karena sakit, kemenakannya, putra dari Bùjiàng, Kǒngjiǎ yang naik takhta. Ia merubah tradisi Dinasti Xià yang sembahyang terhadap leluhur, mulai menitik-beratkan sembahyang kepada langit. Dalam Shǐjì Xiàběnjì dikatakan Kǒngjiǎ adalah seorang yang Hàofāngguǐshén (suka meniru dewa dan hantu), Shìyínluàn (urusan negara menjadi kacau). Banyak suku dan negara upeti mulai tidak puas dengan pemerintahan Dinasti Xià, tetapi hubungan antara suku Dōngyí dan suku Huáxià masih baik. Ini mungkin karena pembauran antara suku Dōngyí dan suku Huáxià udah sangat tinggi. Setelah Kǒngjiǎ meninggal, digantikan oleh putranya Gāo. Setelah Gāo meninggal, digantikan oleh putranya Fā. Pada periode ini, hubungan antara Dinasti Xià dengan suku dan negara upetinya memburuk, keributan dalam istana kerajaan juga semakin parah. Mulai dari masa pemerintahan Kǒngjiǎ sampai Lǚgǔi (Xià Jié), gejolak dalam kerajaan sendiri tidak pernah berhenti.

Dinasti Shāng (1600—1046 SM) adalah dinasti yang mengantikan Dinasti Xià dalam sejarah Cina. Sekitar tahun 1600 SM, Dinasti Shāng didirikan oleh pemimpin suku Shāng, Tāng setelah memusnahkan Dinasti Xià. Dinasti Shāng melewati masa pemerintahan sebanyak 17 generasi, 31 raja. Berkuasa selama 500-an tahun, sampai 20 Januari 1046 SM ditaklukkan oleh Zhōu Wǔwáng.
Ringkasan Sejarah
Akhir dari pemerintahan Dinasti Xià, kekacauan dalam pemerintahan Dinasti Xià sendiri tidak pernah terkendali, ganguan dan serangan dari luar juga tidak pernah berhenti, setelah naik takhta, Jié juga tidak berusaha mengubah kondisi, malahan semakin lalim dan kejam, sehingga para bangsawan akhirnya mulai memberontak. Pada sekitar tahun 1600 SM, pemimpin dari suku Shāng, Tāng bergabung dengan suku bangsa lainnya mengulingkan Dinasti Xià, dan mendirikan Dinasti Shāng. Pada awalnya suku Shāng beribukota di Bò (sekarang Shāngqiū Propinsi Hénán), setelah mengalahkan Dinasti Xià, memindahkan ibukota ke barat dan tetap disebut dengan nama Bò (sekarang Yǎnshī Propinsi Hénán ).
Setelah naik takhta, Tāng memerintah dengan bijaksana terhadap rakyatnya, dengan bantuan dari menteri-menteri berbakat seperti Yīyǐn dan Zhòngyuán, negara semakin kuat dan makmur. Setelah Tāng meninggal, oleh karena putra sulungnya Dàdīng mati muda, maka singgasana diwariskan kepada adik Dàdīng, Wàibǐng; setelah Wàibǐng meninggal, digantikan oleh adiknya Zhòngrén; dan setelah Zhòngrén meninggal, singgasana diwariskan kembali kepada putra dari Dàdīng, Tàijiǎ . Tahun ketiga pemerintahan Tàijiǎ , oleh karena memerintah dengan tidak benar dan tidak bermoral, Tàijiǎ diasingkan oleh Yīyǐn ke istana Tónggōng . Setelah tiga tahun tinggal di istana Tónggōng, Tàijiǎ merasa sangat menyesal, sehingga akhirnya Yīyǐn menjemput dan menyerahkan kembali kekuasaan kepadanya.
Pada mulanya, Dinasti Shāng beberapa kali memindahkan ibukota-nya, sampai terakhir pada masa pemerintahan Pángēng , menetapkan ibukota di Yīn (sekarang Ānyáng Propinsi Hénán), sehingga Dinasti Shāng sering juga disebut sebagai Dinasti Yīn. Setelah Pángēng memindahkan ibukota ke Yīn , ekonomi masyarakat Dinasti Shāng mengalami perkembangan lebih maju lagi. Sampai kemudian masa pemerintahan Wǔdīng , Dinasti Shāng melakukan banyak serangan ekpansi, menaklukkan banyak negara kecil disekitarnya, memperluas wilayah teritorialnya, sehingga Dinasti Shāng mencapai puncak kejayaannya.
Mandat langit
Sesuai tradisi feodal Cina, para penguasa Zhou mengantikan Dinasti Shang (Yin) dan mengesahkan aturan yang menetapkan mereka sebagai mandat langit, dimana para penguasa memerintah atas mandat dari langit. Bila mandat dari langit dicabut, rakyat berhak menggulingkan penguasa tadi. Perintah langit ditetapkan oleh asumsi nenek moyang Zhou, Tian-Huang-Shangdi, berada di atas nenek moyang Shang, Shangdi. Doktrin ini menjelaskan dan membenarkan kekalahan Dinasti Xia dan Shang, dan pada waktu yang sama mendukung hak kekuasaan para penguasa sekarang dan masa depan.
Bangsawan keluarga Ji
Dinasti Zhou didirikan oleh keluarga Ji beribukota di Hao, sekarang di sekitar Xi'an), meneruskan corak budaya dan bahasa dari dinasti sebelumnya, ekspansi Zhou pada awalnya adalah melalui penaklukan. Secara berangsur-angsur Zhou memperluas budaya Shang sampai ke wilayah utara Sungai Panjang.
Pada awalnya keluarga Ji mengendalikan negara Zhou secara terpusat. Di tahun 771 SM, setelah Raja You menggantikan ratunya dengan Selir Baosi, ibukota diserang oleh kekuatan gabungan dari ayah ratu, pangeran Shen yang bersekutu dengan suku-suku asing. Kemudian, putra sang ratu, Ji Yijiu dinaikkan menduduki tahta sebagai raja baru oleh para bangsawan dari negara Zheng, Lü, Qin dan pangeran Shen. Ibukota negara kemudian terpaksa dipindahkan ke sebelah timur di tahun 722 SM, tepatnya ke Luoyang di propinsi Henan sekarang.
Kemunduran
Setelah perpecahan di pusat kekuasaan, pemerintah Zhou makin lemah dalam menjalankan pemerintahan. Setelah Raja Ping , raja-raja Zhou yang kemudian berkuasa tidak memiliki kekuasaan yang nyata karena kekuasaan sebenarnya ada di tangan para bangsawan yang kuat. Mendekati penghujung Dinasti Zhou, para bangsawan tidak meletakkan lagi eksistensi keluarga Ji sebagai simbol pemersatu kerajaan dan masing-masing mengangkat diri mereka sendiri sebagai raja. Dinasti Zhou pecah menjadi beberapa negara kecil-kecil yang bertempur satu sama lainnya. Zaman ini kemudian terkenal sebagai Zaman Negara-negara Berperang, di mana kemudian diakhiri dengan penyatuan Cina di bawah Dinasti Qin.
Dinasti Qin (221 SM - 206 SM) adalah satu dari tiga dinasti yang paling berpengaruh di Cina sepanjang sejarahnya. Dinasti Qin terkenal sebagai dinasti yang pendek umurnya, namun meletakkan dasar-dasar kekaisaran yang kemudian akan diteruskan selama 2000 tahun oleh dinasti-dinasti setelahnya. Dinasti ini juga adalah dinasti pertama yang mempersatukan suku bangsa beragam di Cina ke dalam entitas tunggal nasional Cina.
Penghujung Dinasti Zhou
Dinasti Qin berawal dari kerajaan Qin yang dikuasai bangsawan bermarga Ying di masa Dinasti Zhou. Leluhur marga Ying, Bo Yi diceritakan pernah berjasa membantu Yu untuk meredakan banjir. Untuk itu, Kaisar Shun kemudian menganugrahkan marga Ying kepada Bo Yi.
Salah satu keturunan Bo Yi kemudian mengabdi kepada Raja Xiao dari Dinasti Zhou. Berjasa untuk memelihara kuda kerajaan, Raja Xiao lalu memberikan wilayah di Lembah Qin (sekarang di sekitar Tianshui, Gansu) untuk keturunan Bo Yi tadi. Dari sinilah kerajaan Qin bermula.
Tahun 770 SM, Xiang dari Qin berjasa di dalam mengawal Raja Ping dari Dinasti Zhou dan mendapat gelar bangsawan. Kerajaan Qin terbentuk dan kemudian menguasai wilayah Dinasti Zhou di sekitar Shaanxi. Masa ini disebut sebagai Zaman Negara-negara Berperang karena puluhan negara besar-kecil saling bermusuhan dan kerap berperang untuk merebut wilayah dan pengaruh kekuasaan. Tahun 221 SM, Raja Yingzheng (yang kemudian dikenal sebagai Qín Shǐ Huáng atau Qin Shihuang) dari Qin melakukan agresi militer terhadap kerajaan lainnya di Dinasti Zhou dan mempersatukan Cina di bawah satu pemerintahan terpusat.
Runtuhnya Dinasti Qin
Sepeninggal Qin Shihuang, Zhao Gao berkomplot bersama Hu Hai dan Li Si memalsukan surat wasiat Qin Shihuang untuk mewariskan tahta kepada Hu Hai serta memerintahkan eksekusi mati atas anak sulungnya, Fu Su. Hu Hai lalu naik tahta dengan gelar Kaisar Qin Kedua.
Hu Hai sendiri adalah seorang kaisar yang lalim dan tidak cakap. Ini menyebabkan ia tak dapat menahan pemberontakan di daerah-daerah. Bulan Juli 209 SM, 2 pejabat kekaisaran, Chen Sheng dan Wu Guang memberontak. Pemberontakan besar-besaran kemudian dipimpin oleh Xiang Yu dan Liu Bang. Setelah Dinasti Qin runtuh, peperangan pecah antara Liu Bang dan Xiang Yu yang kemudian dimenangkan oleh Liu Bang dan mendirikan Dinasti Han yang akan berkuasa selama 400 tahun.
Dinasti Qin(221 SM - 206 SM) adalah satu dari tiga dinasti yang paling berpengaruh di Cina sepanjang sejarahnya. Dinasti Qin terkenal sebagai dinasti yang pendek umurnya, namun meletakkan dasar-dasar kekaisaran yang kemudian akan diteruskan selama 2000 tahun oleh dinasti-dinasti setelahnya. Dinasti ini juga adalah dinasti pertama yang mempersatukan suku bangsa beragam di Cina ke dalam entitas tunggal nasional Cina.
Dinasti Han(206 SM - 220) adalah satu dari tiga dinasti yang paling berpengaruh di Cina sepanjang sejarahnya. Dinasti ini adalah yang meletakkan dasar-dasar nasionalitas Cina mewarisi penyatuan Cina dari dinasti sebelumnya, Dinasti Qin. Dinasti Han sendiri didirikan oleh Liu Bang, seorang petani yang memenangkan perang saudara dengan saingannya, Xiang Yu. Dinasti Han merupakan salah satu dinasti terkuat di Cina, dan karena pengaruhnya yang besar, etnis-etnis mayoritas di Cina sekarang ini menyebut mereka orang Han (biarpun mungkin nenek moyang mereka bukan dari etnis Han). sunting] Kronologi Kaisar
Ada 13 kaisar yang memimpin Dinasti Han Barat (206 SM - 8) dan 13 kaisar memimpin Dinasti Han Timur (23 - 220). Antara tahun 8 sampai dengan tahun 23 ada sebuah Dinasti Xin yang menjadi batas daripada Dinasti Han Barat dan Timur. (belum selesai)
Wilayah
Setelah mengalahkan negeri Chu, kemudian Liu Bang menggabungkan negeri-negeri lain di Cina dan mendirikan dinasti Han.
Struktur Pemerintahan
Pada awalnya, Liu Bang (kaisar Gao) membagi negara menjadi beberapa negara bagian feodal dengan maksud untuk memuaskan para pemimpin negeri yang bergabung dengannya saat perang Chu-Han, walaupun dia berencana akan menyingkirkan mereka setelah Liu Bang menggabungkan dan mengkonsolidir pasukannya menjadi kekuatan penuh.
Sosial Budaya dan Agama
Pada masa dinasti Han, ajaran Konfusius dan Taoisme berkembang pesat.
Hubungan Luar Negeri
Dinasti Han melakukan perdagangan dan meluaskan budayanya ke negara Korea, Mongolia, Vietnam, dan Asia Tengah.
Tokoh-tokoh Terkenal
Liu Bang = pendiri dinasti Han dan kaisar pertama dinasti Han Barat Liu Xiu = seorang anggota kerajaan Liu yang berhasil menggulingkan dinasti Xin, dan mendirikan kembali dinasti Han (atau yang dikenal dengan Han Timur)
Wang Mang = pemberontak yang pada akhirnya berhasil menggulingkan pemerintahan dinasti Han Barat, karena menganggap keluarga kerajaan Liu sudah tidak mempunyai kuasa mandat langit lagi.
Australia
Australia ialah sebuah negara di Hemisfera Selatan yang terdiri daripada tanah besar yang merupakan benua yang terkecil di dunia, dan sebilangan pulau di Lautan Selatan, Hindi, dan Pasifik. Negara-negara jirannya termasuk Indonesia, Timor Leste dan Papua New Guinea di utara, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan New Caledonia (wilayah tanggungan Perancis) di timur laut, serta New Zealand di tenggara.
Tanah besar Australia telah dihuni sejak 60,000 tahun lagi oleh orang-orang asli Australia. Setelah lawatan sekali-sekala oleh nelayan-nelayan dari utara serta para penjelajah dan pedagang dari Eropah, namun mulai daripada abad ke-17, sebelah timur tanah besar ini dituntut oleh pihak British pada tahun 1770, dan New South Wales dijadikan sebuah tanah jajahan untuk hukuman secara rasmi pada 26 Januari 1788. Apabila jumlah penduduk bertumbuh dan kawasan-kawasan baru dijelajahi, lagi lima buah kawasan yang lebih merupai Tanah Jajahan penguasaan diri ditubuhkan berturut-turut pada sepanjang abad ke-19.
Pada 1 Januari 1901, enam buah tanah jajahan bergabung menjadi sebuah persekutuan, dan Komanwel Australia dibentuk. Sejak masa itu, Australia telah mengekalkan sistem politik demokratik liberal yang stabil dan tetap merupakan sebahagian Alam Komanwel. Ibu negaranya, Canberra, terletak di Wilayah Ibu Kota Australia. Jumlah penduduk negara yang kini di sekitar 20.6 juta orang tertumpu khususnya di bandaraya-bandarya tepi pantai seperti Sydney, Melbourne, Brisbane, Adelaide, dan Perth.
Asal usul nama
Nama 'Australia' berasal daripada perkataan bahasa Latin, australis, yang bermaksud di selatan. Legenda tentang "sebuah tanah yang tidak dikenali di selatan" (terra australis incognita) telah diceritakan sejak zaman orang Rom lagi, dan benua ini wujud dalam geografi zaman pertengahan, tetapi tidak mendasarkan pengetahuan sebenar. Bentuk kata sifat Belanda, Australische, telah digunakan seawal 1638 lagi oleh pegawai-pegawai Belanda di Batavia untuk merujuk kepada sebuah tanah di selatan yang baru ditemui. Penggunaan pertama perkataan "Australia" dalam bahasa Inggeris ialah sebuah terjemahan 1693 untuk Les Aventures de Jacques Sadeur dans la Découverte et le Voyage de la Terre Australe, sebuah novel Perancis yang ditulis pada tahun 1692 oleh Gabriel de Foigny di bawah nama pena Jacques Sadeur. [6]
Alexander Dalrymple kemudian menggunakan perkataan ini dalam karyanya, Himpunan Sejarah Perjalanan-perjalanan dan Penemuan-Penemuan di Lautan Pasifik Selatan, untuk merujuk kepada seluruh kawasan Pasifik Selatan. Pada tahun 1793, George Shaw dan Sir James Smith menerbitkan Zoologi dan Botani Holland Baru. Dalam karya itu, mereka menulis tentang sebuah "pulau yang luas terbentang, atau lebih merupai benua, yang dinamakan Australia, Australasia, atau Holland Baru."
Nama "Australia" dipopularkan oleh karya, Perjalanan ke Terra Australis, yang ditulis oleh ahli pelayaran, Matthew Flinders, pada tahun 1814. Beliau merupakan orang pertama yang dicatat untuk belayar mengelilingi Australia. Walau judul bukunya yang membayangkan pandangan Admiralti British, Flinders menggunakan perkataan "Australia" dalam bukunya yang dibaca secara meluas dan istilah itu semakin tersebar luas. Gabenor Lachlan Macquarie dari New South Wales kemudian menggunakan perkataan ini dalam perutusan-perutusan rasminya ke England. Beliau menyesyorkan nama ini diterimaguna secara rasmi pada tahun 1817. Pada tahun 1824, Admiralti British bersetuju bahawa benua itu harus dikenali sebagai "Australia" secara rasmi.
Sejarah
Tarikh kediaman manusia pertama di Australia dianggarkan antara 42,000 dan 48,000 tahun dahulu. [7] Penduduk-penduduk Australia pertama adalah nenek moyang Orang Asli Australia kini; mereka tiba melalui jambatan tanah dan lintasan laut pendek dari benua Asia Tenggara kini. Kebanyakan daripada penduduk-penduduk ini adalah pemburu-pemungut, dengan budaya lisan yang rumit serta nilai-nilai kerohanian yang berdasarkan rasa hormat kepada tanah dan kepercayaan dalam Masa Mimpi. Penduduk-penduduk Selat Torres yang tergolong dalam etnik Melanesia, mendiami di Kepulauan Selat Torres dan bahagian-bahagian di jauh utara Queensland; amalan-amalan kebudayaan mereka berbeza daripada amalan-amalan orang asli.
Rekod pertama yang tidak dipertikaikan tentang penemuan tanah besar Australia oleh orang Eropah adalah penemuan yang dibuat oleh ahli pelayaran Belanda, Willem Janszoon, yang menemui pantai Semenanjung Tanjung York pada tahun 1606. Semasa abad ke-17, orang-orang Belanda mencartakan garis-garis pinggir laut barat dan utara bagi apa yang dipanggil oleh mereka sebagai Holland Baru, tetapi mereka tidak mencuba mengasaskan sebarang penempatan. Pada tahun 1770, James Cook belayar di sepanjang pantai timur Australia dan memetakan garis pinggir pantai itu. Beliau menamakan tanah itu New South Wales dan menuntutnya untuk Britain. Penemuan-penemuan ekspedisi mendorong penubuhan tanah jajahan untuk hukuman di sana.

Selasa, 07 Desember 2010

makalah "MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA "



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan kehendakNya jualah makalah sederhana ini dapat kami rampungkan tepat pada waktunya.
Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN. Adapun yang kami bahas dalam makalah sederhana ini mengenai “masalah pendidikan di Indonesia”..
penyusun menyadari akan kemampuan yang masih amatir. Dalam makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin.Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.

                                                                    Jakarta, Desember 2009
                                                                    Penulis










i
DAFTAR ISI
Kata pengantar...............................................................................i
Daftar isi..........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.                      Latar belakang........................................................iii
1.2.                      rumusan masalah....................................................v
1.3.                      tujuan penulisan......................................................v

BAB II PEMBAHASAN
      2.1. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia....................................1
      2.2. Kualitas Pendidikan di Indonesia....................................1
      2.3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia..........................3            
      2.4. Solusi dari Permasalahan-permasalahan
             Pendidikan di Indonesia...................................................10
      2.5. pendidikan pembentuk moral bangsa Indonesia...........11

BAB III PENUTUP
     3.1. kesimpulan..........................................................................13
     3.2. saran....................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................14











ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja

                                                 iii
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan  
    di Indonesia?
4. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-
    permasalahan pendidikan di Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya
    mutu pendidikan di Indonesia.
4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-
     permasalahan pendidikan di Indonesia.








                                         v
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
2.2. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid,
 mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang.

                                               1
 Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
· Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
· Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
· Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
· Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
· Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
· Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
· Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
· Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.


                                       2
2.3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah
                                         3
mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
4
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya.
Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut. Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan
 bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau
5
 lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang dibahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
6
 keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
7
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
8
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005)
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang
9
 menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
2.4. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

10
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
 Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
 2.5. pendidikan pembentuk moral bangsa Indonesia
Pendidikan merupakan pembentuk moral bangsa agar terhindar dari hal yang tak di inginkan agar Bangsa Indonesia tidak punah pendidikan juga merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan seperti dalam pasal 31 ayat 1. Sekarang banyak sekali terjadi kasus HAM dan korupsi. Pendidikan anti korupsi pada dasarnya sama seperti yang disarankan J.J. Rousseau pada zamannya. Pendidikan, dalam rangka melakukan koreksi budaya ( Eby, 1952), tidak cukup jika hanya menyelenggarakan konservasi dan inovasi budaya yaitu dengan pendidikan anti korupsi secara sistemik
Korupsi di Indonesia saat ini membutuhkan counter-action yang komfrehensif, yang tertuju pada pembangunan dan revitalisasi sistem Integritas nasional.
korupsi terjadi karena beberapa hal yaitu :
1)      motive (niat)
2)      oppurtunity (peluang) dan
11
3)      mean
koalisi dalam pemberantasan korupsi terdiri dari 3 faktor yaitu :
1)      pemerintah
2)      sektor swasta dan
3)      masyarakat sipil
         Dalam hal ini, masyarakat sipil khendaknya ditumbuhkan menjadi informed active citizen ( warga negara yang aktif dan terdidik ) berskala nasional.
Hampir 3 dasawarsa terakhir, kehidupan pendidikan, politik di Indonesia di warnai wacana demokrasi. Hal ini di sebabkan beberapa faktor baik intern maupun ekstern
  • Faktor internnya adalah masyarakat telah berupaya membangun kesadaran demokrasi melalui berbagai aktivitas, misalnya, melalui LSM, diskusi yang diselenggarakan di berbagai perguruan tinggi, yang juga berimplikasi terhadap maraknya gerakan mahasiswa, dan sebagainya.
  • Faktor eksternnya adalah antara lain dan ini yang paling dominan adalah proses “pemasungan” demokrasi yang di lakukan secara sistemik.
Pendidikan yang demokratis akan melahirkan generasi masa depan yang lebih baik yang sekarang berada dalam sistem tersebut tidak akan kehilangan konteks dan perannya di era keterbukaan di masa yang akan datang.









                                             12
BAB III
PENUTUP



3.1. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,(2)Rendahnya kualitas guru,(3). Rendahnya kesejahteraan guru,(4). Rendahnya prestasi siswa,(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
3.2. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional
                                       



13
DAFTAR PUSTAKA

Akesbi, Azeddine. 2001. sensitisation against Coruuption: The Morroccan Experience in the Educational sector. 10th Internasional Anti-Corruption Conference, Prague.

Barret, Derm. 1995. The TQM paradigm key ideas that make it work. Productivity press, portland, Oregon.

Abdulgani Ruslan, 1998, pancasila dan reformasi. Makalah seminar nasional KAGAMA, 8 juli 1998 di Yogyakarta
Darmodihardjo darji, dkk.,179, santiaji pancasila, Usaha nasional, Surabaya
Austin, J.L.philosophical paper, Oxford: Clarendon, 1961
Azra, A., “ teknologi : fasisme dengan senyuman ?”, merdeka, 10 February 1982
Suryo, Joko, 2002, pembentukan Identitas Nasional, makalah seminar terbatas pengembangan Wawasan tentang Civic Education, LP3 UMY, Yogyakarta.
Thaib Dahlan, 1994, pancasila yuridis kenegaraan, penerbit AMP YKPN, Yogyakarta.
Almond Gabriel, A(1991)” Capitalism and Democracy”, Journal of political science And politics.
Schumpeter, J.(1946), Capitalism, socialism dan democracy. New york: Harper
Zou, Garry spring-summer,1991,”Transition towards democracy”in asian perspective, 15 (1), pp.99-121.

14
http://www.sib-bangkok.org.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.





























15

Sabtu, 04 Desember 2010

Kajian mengenai Taktik-Taktik Pemulung
Jatinegara di Tengah Kemiskinan Kota
Abdul Ghofur
Editor
Budhi Adrianto
Lembaga Penelitian SMERU
Agustus 2009
KATA PENGANTAR
Laporan penelitian ini merupakan bagian dari tesis magister penulis pada Departemen
Antropologi Universitas Indonesia yang penulis selesaikan pada Juli 2008. Melalui studi ini,
penulis ingin memberikan kontribusi teoretis di tengah kegagalan upaya penanggulangan
kemiskinan di Indonesia. Harus diakui bahwa selama ini pemerintah dan para ”aktivis” ternyata
hanya mengklaim menjadikan orang miskin sebagai subjek dalam setiap upaya penanggulangan
kemiskinan. Mereka hanya menangkap suara golongan miskin dari sumber yang sangat terbatas,
yaitu sebatas ucapan dalam sebuah wawancara atau diskusi kelompok. Mereka mengabaikan
makna dan praktik keseharian golongan miskin sebagai subjek. Dengan kata lain, golongan
miskin hanya diajak menampilkan permukaan kemiskinan untuk dicarikan jawaban, padahal
rumusan yang dihasilkan itu ”fiktif” dan mungkin manipulatif. Penelitian ini berupaya
memberikan gambaran lebih lanjut tentang kemiskinan melalui pandangan pelakunya–selain
melalui pendekatan budaya kemiskinan dan kemiskinan struktural–yang selayaknya menjadi
pertimbangan cermat dalam perumusan program-program penanggulangan kemiskinan.
Penulis menyadari bahwa ada risiko akan menghadapi tudingan telah meromantisisme
golongan miskin dari kawan-kawan yang selama ini mengagungkan kemiskinan struktural.
Dengan segala kerendahan hati, penulis hanya bermaksud untuk mengisi suatu celah dalam
pengetahuan, khususnya tentang kemiskinan dan antropologi, terutama terkait dengan posisi
golongan miskin yang senantiasa berdialektika. Penulis juga yakin bahwa proses dan analisis
penelitian ini memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat
terbuka terhadap berbagai kritik dan masukan dari para pembaca. Penulis berharap penelitian
ini dapat ditempatkan secara proporsional dalam keseluruhan usaha memahami kemiskinan,
khususnya fenomena manusia gerobak yang kemungkinan akan menjadi tren gaya hidup
perkotaan di masa mendatang.
Untuk penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Achmad
Fedyani Saifuddin selaku pembimbing. Atas segala utang budi penulis kepada Bapak Asep
Suryahadi, Ibu Sri Kusumastuti Rahayu, Bapak Sudarno Sumarto, Ibu Widjajanti, ibu-ibu dan
bapak-bapak lainnya di Lembaga Penelitian SMERU yang telah memberi masukan, dengan
segala hormat, penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih dan meminta maaf atas segala
kekurangan, termasuk keterlambatan penyelesaian laporan penelitian ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih atas dukungan dana yang diberikan SMERU untuk pelaksanaan
penelitian ini.
Jakarta, Januari 2009,
Abdul Ghofur
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Kerangka Konseptual 1
1.3 Permasalahan Penelitian 8
1.4 Tujuan Penelitian 9
1.5 Metode Penelitian 9
II. MANUSIA GEROBAK DALAM GAMBAR 14
2.1 Cerita Menjadi Manusia Gerobak 14
2.2 Tempat Tinggal 17
2.3 Lokasi Kerja 19
2.4 Kategori Kerja 20
2.5 Aktivitas Keseharian 21
2.6 Atribut-Atribut Kemiskinan 25
III. TAKTIK-TAKTIK MANUSIA GEROBAK 34
3.1 Membangun dan Mengembangkan Hubungan Sosial 35
3.2 Memilih Waktu Memulung 45
3.3 Memilih dan Menguasai Tempat 48
3.4 Menggelandang sebagai (Gaya) Hidup 52
IV. PENUTUP 57
4.1 Kesimpulan 57
4.2 Implikasi Kebijakan 59
DAFTAR ACUAN 61
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehadiran pemulung memang bukan hal baru, tetapi ada perubahan mendasar dalam pola kehidupan mereka. Fenomena pemulung dengan gerobaknya yang berukuran 2 m x 1 m sebagai alat produksi sekaligus tempat tinggal bersama anggota rumah tangganya saat ini semakin marak, meramaikan sudut-sudut Jakarta. Meminjam istilah Twikromo (1999), mereka inilah yang disebut dengan pemulung jalanan. Pada siang hari mereka berkeliling dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Pada malam hari mereka menempati emperan toko, pinggiran jalan, kolong jembatan, dan ruang publik lainnya untuk beristirahat. Harijono (2001) menggambarkan mereka layaknya kaum Gipsy yang berpindah-pindah tempat. Harian Republika (2001) menyebutnya “Manusia Gerobak”, yaitu sekelompok penduduk Jakarta yang menghabiskan hari-harinya di atas gerobak karena tidak memiliki tempat tinggal.
Kisah-kisah manusia gerobak menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseharian mereka. Untuk makan sehari-hari, kadang mereka pun harus berutang. Lebih tragisnya lagi, menguburkan mayat pun seperti sesuatu yang mustahil bagi mereka (Warta Kota, 2005). Pengaruh globalisasi yang menyebabkan kota mengalami tekanan lebih keras daripada sebelumnya tidak secara serta-merta memunculkan kecenderungan sifat yang pasrah dalam menghadapi masa depan dan menyerah pada nasib. Bahkan, mereka lebih berani menampakkan diri ketika mereka menjalankan aktivitas yang disebut oleh Dieter- Evers (1980) sebagai “ekonomi bayangan”. Mereka juga tegar ketika menghadapi tekanan-tekanan
struktural seperti penggusuran dari pihak negara yang menganggap bahwa mereka merupakan sumber kekumuhan dan perusak ketentraman yang sulit diatur dan hanya menjadi permasalahan bagi pemerintah kota. Mereka juga tidak terlalu peduli dengan warga kota yang umumnya mencitrakannya secara negatif (Twikromo, 1999).
Sebagai subjek aktif, para manusia gerobak senantiasa tetap kreatif dalam melahirkan taktiktaktikbaru yang mereka peroleh dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Taktik-taktik tersebut merupakan upaya mereka untuk menciptakan kondisi yang dapat menghasilkan dan menguntungkan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan mereka, yakni pemenuhan kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka dapat tetap bertahan dalam menghadapi lingkungan dan kondisi sosial yang berubah-ubah di tengah kemiskinan perkotaan.
1.2 Kerangka Konseptual
1.2.1 Kajian tentang Pemulung dan Gelandangan
Dalam disiplin antropologi, kajian tentang pemulung biasanya dikategorikan ke dalam studi mengenai orang jalanan dalam ranah antropologi perkotaan. Perbincangan mengenai manusia gerobak dapat merujuk pada pembicaraan mengenai pemulung dan gelandangan. Bagi penulis, manusia gerobak merupakan identitas yang dapat digunakan untuk membedakan pemulung menetap (kampung) dengan pemulung yang tidak menetap (jalanan). Namun demikian, tidak semua pemulung jalanan bergerobak dan tidak semua pemulung bergerobak tidak menetap.
Dalam hal ini, manusia gerobak adalah pemulung yang menggelandang dengan gerobak. Menurut Onghokham (1986), istilah ”gelandangan” berasal dari kata ”gelandang” yang berarti ”yang mengembara, yang berkelana”; istilah yang lebih netral sifatnya. Bahkan menggelandang merupakan sebuah tradisi komunitas tertentu, yaitu pengembaraan yang didasarkan pada dua alasan: alasan politik dan ekonomi. Namun, gelandangan juga didefinisikan sebagai orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan layak dan makan di sembarang tempat. Umar Kayam menyatakan bahwa pada kaum gelandangan di negeri kita, bukan mustahil lahir pula apa yang disebut ”budaya gelandangan”, setidaknya “subkultur gelandangan”, sebab gelandangan memiliki ciri-ciri dasar tertentu, sebagaimana dikatakan Wirosardjono (1986). Ciri-ciri dasar tersebut adalah mempunyai lingkungan pergaulan, norma, dan aturan tersendiri yang berbeda dengan lapisan masyarakat lainnya, tidak memiliki tempat tinggal tetap, memiliki pekerjaan dan pendapatan yang tidak layak, dan mempunyai subkultur yang khas dan mengikat.
Kajian mengenai gelandangan dan pemukiman liar yang dilakukan Parsudi Suparlan (1986) di Jakarta dan Purwokerto menyebutkan bahwa kehadiran gelandangan merupakan konsekuensi logis yang muncul sebagai akibat dari berbagai tekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan yang lebih baik di kota. Lebih lanjut dalam studinya, ia membagi dua kondisi kehidupan, yaitu sulitnya mendapatkan perumahan sehingga mereka memanfaatkan tanah-tanah liar sebagai pemukiman dengan mendirikan gubuk-gubuk, dan mata pencaharian yang dilakukan dengan mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual kembali. Masih serupa dengan Suparlan, Wurdjinem (2001) dalam kajiannya menyebutkan bahwa pemulung hadir sebagai akibat dari keterbatasan pekerjaan. Berdasarkan penelitian kuantitaif Djuwendah (2000), disebutkan bahwa 38% pemulung menjalani usahanya karena tidak memerlukan modal banyak dan keahlian khusus, 29% pemulung menjalaninya karena usaha ini tidak terikat waktu atau karena coba-coba, 18% pemulung merasa bahwa usaha ini lebih menguntungkan daripada usaha sebelumnya, dan hanya 21% pemulung yang mengaku terpaksa melakukannya karena sulitnya mencari pekerjaan lain. Alasan-alasan lain yang melatarbelakangi keputusan para pemulung untuk menjalani usaha ini merupakan rentetan dari keterbatasan keahlian dan sumber daya modal yang dimiliki dan sulitnya mencari pekerjaan sehingga pada akhirnya mereka memilih bekerja sebagai pemulung yang lebih mengandalkan kemauan dan kekuatan fisik. Alkostar (1984: 120–121) melihat bahwa penyebab munculnya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, dan mental yang tidak kuat, serta adanya cacat fisik ataupun cacat psikis, sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama, dan letak geografis. Alkostar (1986) dalam tulisannya yang mengacu pada penelitian di Ujungpandang dan Yogyakarta menyatakan bahwa ada cara hidup gelandangan yang berkelompok dan ada pula yang menyendiri. Sebagai tunawisma dan tunakarya, mereka terpencil dan terpisah dari kehidupan masyarakat normal dengan aktivitas ekonomi yang dianggap kriminal. Menurut Alkostar (1986), gelandangan adalah gejala social yang abnormal sebagai hasil interaksi antara kodrat manusia dan tata sosial yang ada. Lebih lanjut, Rebong, Elena, dan Mangiang (1983) memperlihatkan bahwa gelandangan, di balik semua pandangan negatif terhadapnya, ternyata mempunyai mekanisme ekonomi sendiri yang cukup jelas dengan lapak sebagai pusatnya dan dalam beberapa hal menguntungkan pabrik-pabrik tertentu. Oleh karenanya, keberadaan pemulung dinilai penting bagi sebuah kota. Merujuk pada Muladi (2002), para pemulung adalah pahlawan kebersihan lingkungan tanpa tanda jasa. Di tengah terpaan terik matahari yang menyengat dan bau dan kotoran dari berbagai macam sampah, pemulung, tanpa ada rasa jijik dan malu-malu, membalik-balik sampah guna mengumpulkan barang bekas baik kertas, kardus, besi, plastik, maupun barang-barang lainnya yang bisa dijual.
Di sisi lain, menurut negara, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31/1980, gelandangan didefinisikan sebagai orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, tidak mempunyai mata pencaharian dan tempat tinggal yang tetap, dan mengembara di tempat umum. Bagi negara, dalam hal ini Departemen Sosial, baik pemulung maupun gelandangan dikategorikan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), yaitu seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tertentu, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani, dan sosial) tidak dapat terpenuhi secara memadai dan wajar. Bahkan mereka disebut sebagai penyakit masyarakat (pekat), penyimpangan sosial yang harus ditangani secara preventif, represif, dan rehabilitative agar mereka kembali kepada norma dan agama yang berlaku secara umum. Konteks inilah yang kemudian melahirkan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum di Jakarta. Menurut Twikromo (1999), perda tersebut akan memengaruhi pandangan pemulung jalanan terhadap realitas sosial-budaya mereka yang disertai dengan praktik perlawanan terhadap tekanan-tekanan masyarakat kota dan peraturan pemerintah itu sendiri.
Disadari bahwa penjelasan yang ada belum dapat menggambarkan dan menjelaskan fenomena manusia gerobak secara memadai. Merujuk pada kajian-kajian sebelumnya, setidaknya terdapat
tiga hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, studi-studi sebelumnya lebih dominan
menggambarkan ciri-ciri dan faktor-faktor pemulung-gelandangan sebagai sosok berbudaya
distingtif yang pada gilirannya secara paradigmatis ditempatkan sebagai manusia yang pasif;
kedua, studi mengenai pemulung-gelandangan lebih dominan menjelaskan tentang pekerjaan
yang membahayakan, kesehatan, dan penyakit sosial dengan praktik hidup kesehariannya yang
dipandang abnormal; dan ketiga, hal yang paling dominan adalah diperlukan sebuah kajian yang
dapat merekomendasikan kebijakan dan program yang dapat membantu pemulunggelandangan
keluar dari kemiskinan.
Sejalan dengan uraian terakhir, penelitian ini melakukan kajian mengenai praktik keseharian
dan taktik-taktik manusia gerobak–sebagai sesuatu yang baru, meski faktanya telah terjadi
lama sebelumnya–dalam bertahan hidup di tengah kemiskinan perkotaan dengan
memberikan kesempatan yang besar kepada mereka untuk memberikan perspektifnya sebagai
subjek yang aktif.
1.2.2 Kerangka Pemikiran
Kemiskinan adalah konsep abstrak yang dapat dijelaskan secara berbeda tergantung pada
pengalaman, sudut pandang yang diambil, dan terkadang ideologi yang dianut. Konsep
kemiskinan yang dirumuskan pada gilirannya melahirkan atribut-atribut kemiskinan. Pada
awalnya, atribut-atribut kemiskinan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang absolut dan
sebagai kondisi yang serba kekurangan materi. Para ilmuwan kemudian membuat sebuah
batas yang disebut “garis kemiskinan” antara kelompok yang dapat disebut miskin dan
kelompok tidak miskin.1 Sampai saat ini, ukuran tersebut masih tetap digunakan untuk
1Sajogyo mengukur garis kemiskinan dari tingkat penghasilan atau pengeluaran rumah tangga setara beras per
kapita per tahun, yaitu 480 kg untuk kota dan 320 kg untuk desa, sementara garis kemiskinan yang digunakan
BPS mengacu kepada besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) per kapita per bulan untuk memenuhi
kebutuhan dasar minimum pangan dan nonpangan. Bank Dunia, di sisi lain, mengukur garis kemiskinan
berdasarkan penghasilan PPP US$1 per hari per kapita.
Lembaga 4 Penelitian SMERU
menghitung jumlah sasaran dan menentukan sasaran program-program penanggulangan
kemiskinan. Atribut-atribut absolut tersebut, baik “garis kemiskinan”2 maupun atribut-atribut
lain yang lebih luas dari sekadar atribut ekonomi (multidimensi),3 selalu dipertanyakan oleh
berbagai pihak. Dengan demikian, atribut kemiskinan menjadi relatif berdasarkan realitas
empirik, meski tanpa batas-batas yang jelas, sebagai akibat dari relativitas dinamik golongan
miskin sehingga hal ini memungkinkan adanya lebih banyak orang yang masuk ke dalam
kategori miskin.4
Atribut-atribut kemiskinan dibuat untuk mempermudah upaya mengetahui ada atau tidak
adanya fenomena kemiskinan. Pada saat kemiskinan dianggap ada, hal ini lalu dipandang
sebagai sebuah masalah dan kemudian akan ditanggulangi oleh berbagai pihak.
Menanggulangi kemiskinan bukan berarti menghilangkan atribut-atribut kemiskinan–karena
atribut-atribut tersebut bersifat relatif, meski ada yang diabsolutkan–melainkan menemukan
sebab-sebab hadirnya atribut-atribut tersebut. Pemahaman mengenai penyebab kemiskinan
inilah yang pada akhirnya menentukan keberhasilan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan.
Dalam ilmu sosial, sebab-sebab kemiskinan secara dominan dipengaruhi oleh dua pendekatan
besar, yaitu budaya kemiskinan dan kemiskinan struktural. Pendekatan budaya kemiskinan
sangat dipengaruhi oleh Lewis (1961; 1966; 1988) yang memandang bahwa kebudayaan
menyebabkan sekaligus memantapkan kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan merupakan
cara hidup yang tidak hanya dikembangkan oleh golongan miskin tetapi juga ditransmisikan
dari generasi ke generasi. Dalam konteks kemiskinan sebagai sebuah cara hidup, golongan
miskin dipandang sebagai satuan sosial yang tersendiri dan menyandang suatu kebudayaan
kemiskinan yang khas dan berbeda dari masyarakat lain di luarnya. Perbedaan kebudayaan
tersebut pada gilirannya menjadikan orang miskin tidak mampu berintegrasi dengan
masyarakat yang lebih luas sehingga pada tahap selanjutnya mereka mengembangkan
seperangkat coping mechanism, atau mekanisme atau cara mengatasi masalah, yang dapat
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif seperti kehidupan yang kacau, hilangnya
masa kanak-kanak, maraknya gejala hidup bersama tanpa menikah, maraknya gejala tindak
kriminal, dan banyaknya anak-anak yang ditinggalkan orang tua. Dalam situasi semacam ini,
orang miskin dicirikan dengan atribut-atribut khusus seperti sifat apatis dan cenderung
menyerah pada nasib, tingkat pendidikan rendah, dan ketiadaan daya juang dan kemampuan
untuk memikirkan masa depan (Lewis, 1966; 1988).
Pendekatan budaya kemiskinan yang dikembangkan Lewis memiliki andil dalam mengungkap
penyebab kemiskinan, namun konsep itu tidak sepenuhnya dapat menjelaskan penyebab
kemiskinan yang terjadi pada golongan miskin. Kelemahan konsep budaya kemiskinan adalah
bahwa konsep ini antisejarah dan mengesampingkan asal-usul kelakuan dan norma-norma
2Protes mengenai garis kemiskinan lebih sering disuarakan oleh golongan buruh yang menuntut kenaikan
standar upah minimum. Golongan buruh memandang bahwa standar upah minimum berdasarkan garis
kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah masih jauh dari kelayakan pemenuhan kebutuhan hidup minimum.
3Berbagai pemikiran baru tentang kemiskinan memasukkan aspek-aspek ketidakberdayaan (powerlessness) dan
keterkucilan (isolation). Aspek-aspek kerentanan (vulnerability) dan keamanan (security) juga muncul sebagai konsep
yang banyak dikaitkan dengan kemiskinan. Selain itu, juga dikembangkan pemahaman mengenai penghidupan
yang berkelanjutan (sustainable livelihood) (Ellis, 1998). Amartya Sen kemudian menekankan perlunya untuk
meningkatkan kemampuan individu-individu sehingga mereka mampu melaksanakan berbagai kegiatan dalam
masyarakat. Belakangan, juga dimasukkan aspek relasi gender dalam konsep kemiskinan.
4Hasil Kajian Kemiskinan Bersama Komunitas di Kendari menunjukkan bahwa jumlah golongan miskin lebih
banyak daripada jumlah yang tercatat pada data Badan Pusat Statistik. Lihat GAPRI (2007).
Lembaga Penelitian SMERU 5
yang ada (Gans dalam Baker, 1980: 6). Konsep itu sangat normatif dan hanya merupakan
kecurigaan dan prasangka buruk golongan atas terhadap golongan miskin. Bukti empiris
menunjukkan bahwa orang miskin adalah pekerja keras dan mempunyai aspirasi dan motivasi
untuk memperbaiki nasib. Mereka mampu menciptakan pekerjaan sendiri serta bekerja keras
untuk memenuhi tuntutan hidup (Papanek dan Jakti, 1986). Di samping itu, mereka juga
berusaha mengubah nasib dengan cara beralih dari satu usaha ke usaha lainnya dan tidak
mengenal putus asa. Bahkan kehadiran mereka di kota mempunyai andil dalam menopang
kehidupan di kota (Suparlan, 1993). Melalui kegiatannya, mereka memberikan peluang bagi
warga kota untuk menikmati pelayanan yang murah. Kenyataan ini merupakan bukti bahwa
kaum miskin tidak seperti apa yang digambarkan oleh Lewis dalam konsep budaya
kemiskinannya sehingga penyebab kemiskinan lebih dominan berwajah struktural.
Cara pandang struktural berpendapat bahwa struktur sosial memantapkan kemiskinan.
Tekanan-tekanan struktural seperti tekanan politik dan ekonomi mengakibatkan sejumlah
orang dalam populasi terdorong ke posisi yang tidak menguntungkan. Sebagai bagian dari
struktur, mereka tidak atau kurang mampu menghadapi struktur yang demikian kuat sehingga
secara relatif mereka tetap lemah dalam posisi itu (Valentine, 1968). Menurut Alfian (1980: 5),
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat
karena struktur sosial masyarakat itu; golongan masyarakat tersebut tidak dapat ikut
menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Pendekatan
ini dilandasi oleh kenyataan bahwa meskipun sumber daya yang cukup besar telah disalurkan
ke sektor-sektor yang didominasi oleh golongan miskin, mereka tidak mendapatkan
keuntungan dari sumber daya tersebut karena adanya struktur yang menjadi penghalang.
Struktur yang dimaksud di sini adalah struktur kekuasaan negara dan struktur sosial yang
lebih luas yang menyebabkan terjadinya ketimpangan, ketersisihan, dan hilangnya
kemampuan seseorang untuk mendapatkan sumber daya yang ada. Struktur-struktur yang ada
dianggap telah merampas daya sosial, budaya, ekonomi, dan politik sekelompok orang
(GAPRI, 2005) dan mengungkung dan menghalangi golongan miskin yang kemudian diberi
atribut sebagai golongan yang tidak berdaya untuk maju.
Kebudayaan dan struktur sosial dalam tulisan ini merupakan dua dimensi analisis yang
berbeda. Namun demikian, menurut Saifuddin (2007), meskipun kedua pendekatan di atas
memiliki penekanan yang berbeda, keduanya sama-sama berada dalam ruang paradigma
struktural-fungsionalisme. Struktur-fungsionalis memandang bahwa fungsi adalah tugas
sosial, suatu kegiatan yang harus dilaksanakan dengan tingkat ketepatan tertentu (Saifuddin,
2005: 159). Setiap individu menempati posisi yang sesuai dengan statusnya; oleh karenanya,
kemiskinan merupakan tugas yang harus diemban karena struktur-struktur yang ada adalah
baik dan ideal. Walaupun setiap individu dapat merespons, mereka bagaikan robot yang
menghadapi tekanan struktural (Saifuddin, 2005: 163). Kedua pendekatan tersebut
memandang masyarakat (miskin) sebagai suatu kesatuan sosial yang secara budaya khas dan
tunggal serta memiliki batas-batas tegas (culturally distinctive). Kedua pendekatan memandang
bahwa golongan miskin tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan kebudayaan dan struktur
sosial. Kegiatan manusia dipandang terhambat sedemikian jauhnya sehingga tidak ada ruang
bagi pilihan yang dibuat secara sadar; yang ada hanyalah pilihan tunggal. Orang miskin hanya
merupakan pelaku sosial pasif yang hanya menyerah kepada perbudakan ekonomi dan politik.
Tindakan sosial orang miskin dibentuk dan diatur oleh struktur-struktur raksasa yang pada
umumnya secara eksplisit tak memedulikan pilihan-pilihan. Merujuk pada Soedjatmoko
(1983: 157), orang miskin bagaikan seseorang yang lahir dalam berbagai struktur sosial dan ia
tak mampu untuk menguasai atau mengubah struktur tersebut dengan kekuatannya sendiri.
Lembaga 6 Penelitian SMERU
Dengan kata lain, orang miskin dalam kedua pendekatan kemiskinan ini dilihat sebagai objek
statis dan tidak berdaya, baik sebagai sasaran penelitian maupun sebagai sasaran program
kebijakan. Menurut Kieffer (dalam Suharto, 1997: 212–213), ketidakberdayaan ini merupakan
hasil pembentukan interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi
kombinasi antara sikap menyalahkan diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keadaan
terasingkan dari sumber-sumber sosial dan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik.
Dengan demikian, orang miskin baik sebagai akibat dari kebudayaan maupun sebagai akibat
dari keadaan struktur sosial adalah sama, yaitu statis atau sama dengan tidak berdaya; oleh
karenanya, diperlukan pemberdayaan orang miskin. Merujuk pada Black (dalam Gardner dan
Lewis, 2005: 192), pemberdayaan dilukiskan sebagai ihwal “mengasuh, memerdekakan, dan
bahkan memberi tenaga kepada kaum miskin dan tidak berdaya”. Konsekuensi dari kedua
pendekatan ini adalah bahwa berbagai tindakan yang ada dianggap belum mampu menjawab
persoalan karena tindakan-tindakan tersebut lebih didominasi oleh semangat belas kasihan,
perbaikan perilaku dan budaya melalui pelatihan-pelatihan, serta penggusuran dan pengusiran
orang miskin.
Kedua pendekatan di atas pada gilirannya akan memunculkan pertanyaan tentang posisi
sebenarnya dari orang miskin sebagai subjek yang aktif, padahal manusia adalah pelaku yang
aktif, kreatif, dan bahkan manipulatif dalam menghadapi lingkungannya (Saifuddin, 2005:
176). Ditambah lagi, tingkat kemampuan orang untuk membentuk dan mengubah lingkungan
merupakan persoalan empiris dan analitis. Kedua pendekatan di atas seperti tidak peduli akan
berapa jauhnya kaum miskin sebagai para pelaku sosial berjuang untuk mempertahankan
hidup dengan kekuasaan yang mereka miliki.
Nancy Scheper-Hughes (1992) mencoba menjembatani posisi orang miskin di antara
determinasi budaya dan dominasi struktur melalui penelitiannya di Alto de Cruzeiro, Brasil.
Scheper-Hughes berpendapat bahwa orang miskin maupun orang yang tidak miskin memiliki
kapasitas dan potensi untuk mengembangkan strategi-strategi kreatif maupun manipulatif
dalam menghadapi lingkungannya. Dengan menggunakan kasus kemiskinan perkotaan Brasil,
Scheper-Hughes menunjukkan bahwa sukar untuk membuat garis tegas yang membatasi kedua
golongan tersebut terlebih karena populasi orang miskin di perkotaan Brasil sangatlah besar.
Dalam penelitiannya, Scheper-Hughes berupaya untuk mengungkapkan kemiskinan menurut apa
yang sesungguhnya terjadi dalam realitas empiris. Orang miskin diposisikan sebagai subjek yang
berpikir, bertindak, dan mengembangkan taktik-taktik agar dapat bertahan hidup. Bagi Scheper-
Hughes, praktik kehidupan keseharian dari orang miskin (di Alto de Cruzeiro) tidak bisa
dikatakan sebagai sebuah budaya kemiskinan yang terberi begitu saja, tetapi merupakan sebuah
usaha paling optimal dalam kondisi masyarakat yang sedemikian rupa, apalagi penderitaan yang
dialami oleh masyarakat miskin setempat telah menempuh sejarah yang panjang melalui
perlawanan bersenjata. Scheper-Hughes memaparkan betapa setiap upaya masyarakat miskin
untuk keluar dari situasi itu ternyata justru dicederai.5 Pengalaman itu menjadikan orang miskin
pesimis terhadap tawaran revolusioner yang pada gilirannya akan memperkenalkan dan
mengembangkan cara-cara baru sebagai sesuatu kekuatan konkrit untuk mengubah kondisi.
Melalui pengalaman, kaum miskin mendapatkan ide-ide dan kemungkinan-kemungkinan baru
dan menemukan bentuk-bentuk dan elemen baru di bidang materi, sosial, dan kultural yang pada
gilirannya dipraktikkan atau memengaruhi tindakan mereka.
5Gerakan keagamaan kaum miskin senantiasa dihentikan oleh godaan politik, sementara gerakan tani yang
semula dibentuk oleh seorang aktivis marxist pada saat ia ”mampir” ke tempat tersebut justru merasa dikelabui
oleh sang pendiri yang kembali ke tempat asalnya. Tentu saja sang aktivis sudah tidak lagi mengurusi gerakan
karena menurut rumor ia telah menjadi konsultan pemilik kebun tebu dan pabrik penggilingan tebu.
Lembaga Penelitian SMERU 7
Menurut Scheper-Hughes, memosisikan orang miskin sebagai subjek berarti menerima
kekuasaan, agensi, pilihan, dan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan dari
subjek tertindas; orang harus mulai meyakini kemampuan kelompok tertindas secara moral untuk
merasionalisasi dan berkolusi dan berkolaborasi dalam “kesadaran palsu”; lebih dari sekadar
kelumpuhan kehendak saja. Di samping itu, upaya untuk memahami bentuk-bentuk perlawanan
keseharian dalam taktik dan praktik kaum lemah seperti yang dipaparkan oleh Michel de Certeau
(1984) dan James Scott (2001) merupakan risiko meromantisisme manusia yang menderita.
Namun, apakah kemudian efeknya terhadap ruh, kesadaran, dan kehendak orang miskin akan
diabaikan? Dalam konteks ini (dalam kehidupan yang terkungkung), Scheper-Hughes mendapati
manusia yang dapat bertahan dalam kesulitan untuk merayakan bersama mereka dengan
kegembiraan dan penuh pengharapan meski dalam kondisi ketidakpastian (1992: 533).
Scheper-Hughes mengungkapkan bagaimana orang miskin di Brasil memberikan makna pada
kondisi-kondisi yang mereka alami. Misalnya, mata6 memaknai rua sebagai tempat hidup yang
bebas dari perintah patron sehingga mereka harus ke sana untuk hidup sebagai rural migrant,
atau migran pedesaan, secara otonom, setara, dan bebas dari perintah. Pemaknaan juga
dilakukan terhadap ikatan perkawinan sehingga terjadi perubahan nilai dari yang awalnya
sakral menjadi lebih rasional serta memiliki fungsi ekonomi usaha dalam rangka mendapatkan
makanan gratis yang layak dibanding dengan apa yang tidak tersedia. Karena perkawinan
mempertimbangkan keadaan ekonomi, menjadi lumrah apabila perempuan miskin menikah
berkali-kali sebagaimana dipraktikkan oleh Lordes, seorang informan dalam penelitian
Scheper-Hughes; ia berhenti menikah setelah menemukan suami yang memiliki gaji dan
pensiun yang cukup sebagai jaminan bagi kelayakan hidupnya.
Scheper-Hughes juga menampilkan bagaimana orang miskin menjalin hubungan baik dengan
kerabat dan nonkerabat sebagai bagian dari upaya untuk bertahan hidup. Berbagai bentuk
hubungan tersebut penting karena sumber daya yang tersedia diperebutkan oleh kelas-kelas
yang ada. Hubungan sosial yang terbangun antaraktor pada dasarnya merupakan hubungan
atas dasar kepentingan, yakni ekonomi. Hubungan kekerabatan berfungsi ekonomi, yaitu
digunakan sebagai upaya untuk berbagi kemiskinan yang dihadapi, misalnya, pada kasus
kekerabatan fiktif, atau berbagi informasi tentang pekerjaan. Praktik-praktik seperti
menitipkan anak kepada kerabat maupun nonkerabat dan memelihara hubungan baik dengan
majikan, bos, atau casa pada gilirannya akan mendatangkan banyak keuntungan seperti
fasilitas berobat tanpa biaya, jaminan keamanan bagi anak pada saat orang tuanya melakukan
pekerjaannya, dan peluang pekerjaan serabutan merupakan taktik-taktik yang dikembangkan
untuk mempertahankan hidup. Menurut Saifuddin (2007), hubungan-hubungan sosial
tersebut bersifat adaptif dalam menghadapi tekanan ekonomi yang semakin meningkat baik
dalam lingkup lokal maupun nasional. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses adaptasi
berjangka panjang ini mengakibatkan terwujudnya golongan miskin di kota yang secara
dominan bersifat massal dan konservatif dan berorientasi ke dalam–bukan mengembangkan
reaksi keluar, misalnya, secara masif menentang kebijakan ekonomi pemerintah.
Pada bagian lain, Scheper-Hughes menampilkan kekerasan dalam praktik keseharian orang
miskin. Namun, kekerasan yang dipraktikkan negara melalui aparatnya bukanlah sesuatu yang
maha kuat sebagaimana yang dibayangkan. Menurut Scheper-Hughes, aturan dan struktur bukan
merupakan nilai-nilai yang tetap atau sesuatu yang tidak dapat ditembus, melainkan sesuatu yang
6Scheper-Hughes mengategorikan kelas-kelas yang ada, yaitu the casa, atau kelas elite; the rua, yakni mereka yang
hidup di perkotaan dalam sektor industri sebagai buruh, pekerja seks, dll., atau mereka yang hidup di ”jalanan”;
dan the mata, yaitu mereka yang hidup di hutan atau pedesaan dan sebenarnya bergantung pada perkebunan
tebu.
Lembaga 8 Penelitian SMERU
selalu dapat diterobos melalui beragam cara, misalnya melalui hubungan antara si pelaku kriminal
dan penjaga penjara yang berkolusi dalam membebaskan si pelaku kriminal. Dalam konteks ini,
ada fleksibilitas struktur yang membuka peluang bagi golongan miskin untuk bertindak dan
melalui tindakan strukturisasi itu, mereka mempertahankan atau mengubah sistem tempat mereka
bertindak dan berinteraksi. Golongan miskin menyerap dan menata informasi,
mempertimbangkan permasalahan, mengambil keputusan, dan bertindak berdasarkan
kepentingan mereka. Pada saat bersamaan, golongan miskin juga menginterpretasikan norma,
aturan, dan situasi dengan cara yang baru dan tak pernah diduga sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa orang miskin pada dasarnya memiliki kekuasaan, yaitu kemampuan untuk
menggerakkan dan memengaruhi aktivitas sosial yang akan menguntungkan kepentingan orang
miskin dengan cara memanipulasi atau mengubah aturan permainan dan kesempatan-kesempatan
bertindak. Dengan kata lain, kaum miskin dapat berbuat lebih dari sekadar merespons tekanan
sosiokultural–struktur sosial bersifat cair dan berubah-ubah–dan individu-individu secara konstan
berkompetisi dan memperebutkan sumber daya yang terbatas untuk kepentingan sendiri dan
selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan (Saifuddin, 2005: 177).
Akhirnya, bagi Scheper-Hughes, kemiskinan adalah praktik kehidupan sehari-hari orang
miskin yang turut serta membangun makna kemiskinan berdasarkan kehendak mereka.
Subjek memahami diri melalui refleksi atas tindakannya sendiri di dunia yang bukan sematamata
pengalaman, melainkan juga tindakan yang disengaja (Saifuddin, 2005: 284). Dalam hal
ini, orang miskin menggunakan kemiskinan yang mereka maknai sebagai taktik-taktik
mempertahankan hidup melalui pembenaran-pembenaran terhadap pandangan hidup
mereka. Pada situasi inilah, orang miskin dan orang tidak miskin memiliki batas-batas yang
tegas satu sama lain; ada hubungan interaksi yang intensif satu sama lain dalam kontekskonteks
tertentu. Dalam konteks-konteks tersebut, kepentingan-kepentingan khusus
mengikat kedua belah pihak dan mewujudkan kerja sama dan integrasi sosial di antara
keduanya sehingga mempertahankan hidup di perkotaan pada dasarnya melibatkan hubungan
sosial yang lebih luas, berbeda dengan apa yang diasumsikan oleh pendekatan kebudayaan
dan struktural; inilah pendekatan kemiskinan sebagai sebuah proses (Saifuddin, 2007).
1.3 Permasalahan Penelitian
Dengan mempertimbangkan paparan mengenai pemulung-gelandangan di atas, studi ini
menempatkan manusia gerobak sebagai subjek. Sebagai subjek, orang miskin maupun orang
tidak miskin sama-sama memiliki kapasitas dan potensi untuk mengembangkan taktik-taktik
kreatif maupun manipulatif dalam menghadapi kondisinya sehingga batas-batas antara
manusia gerobak dan orang lain menjadi baur. Hal ini jelas berbeda dengan cara pandang
yang memotret golongan miskin sebagai orang yang tidak berdaya, lemah, dan apatis karena
mereka memiliki kebudayaan kemiskinan. Hal tersebut juga berbeda dengan penggambaran
orang miskin sebagai orang yang tidak berdaya, lemah, dan apatis karena mereka terkungkung
dan terkurung oleh kendala-kendala struktural yang datang dari luar diri mereka. Kedua
pendekatan tersebut bekerja pada paradigma struktural-fungsionalisme dan sebagai
konsekuensinya, baik kebudayaan kemiskinan maupun kemiskinan struktural sama-sama
memandang golongan miskin sebagai suatu kesatuan sosial yang secara budaya khas dan
tunggal dan memiliki batas-batas yang tegas.
Dalam penelitian ini, penulis mengajukan dua pertanyaan utama yang ingin dijawab, yaitu (i)
mengapa orang miskin menjadi pemulung bergerobak dan (ii) taktik-taktik adaptif apa yang
mereka bangun dan kembangkan di tengah kemiskinan perkotaan.
Lembaga Penelitian SMERU 9
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian manusia gerobak ini bersifat empiris dan teoritis. Secara empiris, penelitian
ini ditujukan untuk merekam gambaran kehidupan suatu golongan masyarakat miskin di
perkotaan, yaitu manusia gerobak. Rekaman etnografis diarahkan pada pandangan mereka
mengenai kemiskinan dan taktik-taktik mereka dalam mempertahankan hidup di perkotaan.
Secara teoritis, penelitian ini mencoba menerapkan satu perspektif antropologis mengenai
bagaimana pemulung bergerobak memosisikan diri mereka sebagai subjek aktif– bukan posisi
objek sebagaimana ditekankan dalam pendekatan kebudayaan kemiskinan dan kemiskinan
struktural–dalam melakukan tindakan-tindakan strategis untuk mempertahankan hidup.
1.5 Metode Penelitian
1.5.1 Pendekatan
Dalam kajian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif untuk membantu memahami
secara lebih mendalam dan menginterpretasi apa yang ada di balik peristiwa-peristiwa, latar
belakang pemikiran manusia gerobak yang terlibat di dalamnya, dan bagaimana mereka
meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif yang didefinisikan sebagai “sebuah proses memahami persoalan manusia atau
sosial, berdasarkan bangunan yang kompleks, gambaran holistik, dibentuk melalui kata-kata,
dilaporkan dengan informasi rinci, dan dilakukan pada sebuah konteks yang alamiah”
(Cresswell, 1994: 2).
Pendekatan kualitatif dipilih untuk menempatkan pandangan penulis terhadap sesuatu yang
diteliti secara subjektif, dalam arti penulis sangat menghargai dan memperhatikan pandangan
subjektif setiap subjek yang ditelitinya. Pendekatan kualitatif selalu berusaha memahami
pemaknaan individu (subjective meaning) dari subjek yang ditelitinya. Oleh karena itu, penulis
melakukan interaksi atau komunikasi yang intensif dengan pihak yang diteliti, termasuk di
dalamnya adalah bahwa penulis harus mampu memahami dan mengembangkan kategorikategori,
pola-pola, dan analisis terhadap proses-proses sosial yang terjadi di tengah
masyarakat yang diteliti (Creswell, 1994: 157–159). Penggunaan pendekatan kualitatif dalam
penelitian ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Strauss dan Corbin (1990), yaitu bahwa
pendekatan kualitatif adalah hal-hal yang berkaitan dengan deskripsi proses dan mekanisme
perubahan, terutama dalam konteks historis, baik pada dimensi kultural maupun sosial.
lokasi penelitian ini dilakukan di lebih dari satu kelurahan atau kawasan agar dapat menangkap
variasi pengalaman manusia gerobak (lihat Gambar 1. Lokasi Penelitian pada halaman 13).
Penelitian ini mulai dilaksanakan sejak pertengahan Desember 2007 dan intensitas kunjungan
ke lapangan menurun pada akhir Maret 2008. Pada bulan pertama, penulis lebih banyak
melakukan pendekatan dan pengenalan kepada manusia gerobak. Pendekatan awal ini
Lembaga 10 Penelitian SMERU
dilakukan dengan menyaksikan manusia gerobak di beberapa tempat sambil mengenali kerja
mereka. Selain itu, penulis juga melakukan pemetaan awal sebelum menentukan informan di
lokasi-lokasi tertentu. Diakui bahwa ada kesulitan tersendiri dalam mengamati mereka karena
adanya ketidakpastian kehadiran mereka pada waktu-waktu tertentu.
III. TAKTIK-TAKTIK MANUSIA GEROBAK
Pada bagian ini, penulis akan menggambarkan taktik-taktik yang dipraktikkan manusia
gerobak dalam rangka mempertahankan hidup di kota. Taktik-taktik mereka bukan hanya
dalam bentuk upaya meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran rumah tangga,
serta mempertahankan pekerjaan mereka agar tidak dikuasai oleh pihak-pihak lain, tetapi juga
dalam bentuk upaya perlawanan terhadap struktur dominan.
Manusia gerobak sebagaimana digambarkan sebelumnya merupakan salah satu golongan yang
menyandang atribut-atribut kemiskinan. Di dalam keluarga miskin tidak hanya terdapat
kelemahan, tetapi juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dalam
mempertahankan hidup. Golongan miskin bukanlah orang-orang yang tidak memiliki (have
not). Dari sudut pandang ekonomi, mereka adalah orang yang memiliki sedikit, tetapi di sisi
lain mereka mempunyai kekayaan budaya dan sosial. Mencirikan manusia gerobak sebagai
golongan yang statis, malas, tidak berdaya, dan terisolasi pada dasarnya mengabaikan
kapasitas yang mereka miliki.
Jika kebudayaan merupakan implikasi dari praktik sosialisasi, merujuk pada Talcott Parsons
(dalam Wiroutomo, 1994: 11), manusia gerobak belajar untuk memainkan peran-peran sosial
yang telah ditentukan oleh sistem sosialnya yang pada gilirannya akan menghasilkan satu struktur
kepribadian dasar yang pola orientasinya akan sulit diubah lagi sepanjang umurnya. Namun, hal
itu dikritik oleh Berger dan Luckmann (1990): setelah menginternalisasi nilai yang diperoleh dari
sosialisasi keluarga, ada agen-agen lain yang juga melakukan sosialisasi, yaitu dunia objektif
masyarakat. Implikasinya, seorang individu atas inisiatifnya sendiri akan mampu mengambil peran
tertentu, tidak sekadar menjalankan peran yang disediakan, bahkan dengan dialektika semacam
ini, seorang individu mampu menciptakan perannya sendiri (1990: 262). Pada konteks itulah,
melihat manusia gerobak sebagai suatu subjek dan agen budaya yang memiliki kapasitas
merupakan keniscayaan. Pergulatan kesehariannya menjadikan manusia gerobak mencakup apa
yang harus diperhatikan dan bagaimana menanggapinya. Tanggapan tersebut merupakan jaringan
kehidupan dalam menghasilkan dan mengomunikasikan makna, menegaskan kebebasan untuk
terus menciptakan ulang jati dirinya. Dengan demikian, golongan miskin pada dasarnya memiliki
kekuasaan, yaitu kemampuan untuk menggerakkan dan memengaruhi aktivitas sosial dengan
akibat yang menguntungkan kepentingan mereka. Kekuasaan tersebut mereka wujudkan dalam
bentuk aktivitas berjaringan, pembagian sumber penghasilan, dan pemanipulasian atau
pengubahan aturan permainan.
Dengan begitu, kehadiran mereka tidak hanya menjadi objek statis meski dibayang-bayangi
budaya dan ditundukkan, dikuasai, dan dipinggirkan oleh struktur sosial-ekonomi dominan.
Struktur dominan selalu menjaga perangkat sosial yang ada agar nilai-nilai miliknya menjadi
mapan dan tidak tergoyahkan oleh kekuatan lain. Struktur dominan akan menggunakan
berbagai saluran sosialisasi yang dikuasainya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
untuk memberikan pengesahan dan pembenaran serta untuk menanamkan nilai-nilai yang
menguntungkan pihak yang berkuasa. Meski begitu, sebagai subjek, manusia gerobak dengan
kapasitas dan kesempatan yang berbeda-beda tetap menanggapi perubahan-perubahan yang
terjadi melalui praktik keseharian.
Praktik keseharian tersebut dihadirkan dalam beragam taktik untuk mempertahankan hidup
dan sarana protes dalam melawan dominasi struktur dominan. Mengacu pada James Scott
(1997), perlawanan adalah tindakan para anggota suatu kelas tertentu dengan maksud untuk
melunakkan, menolak, dan mengajukan tuntutan-tuntutan terhadap kelas-kelas di atasnya.
Menurut Scott (2001), perlawanan bukanlah untuk menjatuhkan atau mengubah sebuah
sistem dominasi, melainkan untuk bertahan hidup. Perlawanan sehari-hari inilah yang disebut
Scott sebagai transkrip di balik layar. Dengan merujuk pada pengertian itu, tidak ada
keharusan bahwa perlawanan itu selalu dalam bentuk aksi bersama, frontal, atau konfliktual,
atau dalam bentuk aksi yang berwatak ideologis. Perlawanan itu, jika kita lihat secara detail
dan seksama, dilakukan dalam praktik-praktik harian yang halus, meluruhkan, dan melarutkan
sesuatu yang pada awalnya digunakan sebagai alat dominasi. Salah satu teknik melawan adalah
melalui taktik penguasaan ruang tertentu; melalui ruang-ruang yang dikuasai, mereka
melakukan perlawanan simbolis berupa aksi-aksi bicara dengan menolak definisi yang
diberikan oleh pihak lain dan memaknai pengalaman mereka sendiri. Selain aksi bicara,
perlawanan simbolis juga muncul dalam cara berpakaian mereka. Pertarungan simbolis itu
bukan hanya penafsiran belaka, melainkan juga berada dalam konteks untuk
mempertahankan diri agar dapat makan. Dengan demikian, menguasai dan/atau
mempertahankan ruang, aksi-aksi bicara, dan penampilan berpakaian adalah taktik-taktik yang
digunakan untuk mempertahankan diri untuk dapat tetap bertahan hidup.
3.1 Membangun dan Mengembangkan Hubungan Sosial
Kebudayaan kemiskinan mencirikan golongan miskin sebagai golongan yang terpinggirkan
dan tidak terintegrasi dalam kehidupan masyarakat luas sehingga kecil kemungkinannya
individu atau kelompok tersebut dapat berpartisipasi secara efektif dalam lingkup ekonomi
yang lebih besar dan hal ini lalu mengakibatkan sikap eksklusif individualis. Seperti halnya
golongan tidak miskin, manusia gerobak dihadapkan pada berbagai persoalan, baik persoalan
pemenuhan kebutuhan hidup, persoalan tempat tinggal, maupun persoalan terkait upaya
melakukan dan mengembangkan usaha untuk mempertahankan hidup di kota. Menyadari
kenyataan yang ada, yaitu bahwa tidak ada yang dapat menjamin kelangsungan hidup mereka
kecuali mereka sendiri, manusia gerobak mulai menyusun dan mengembangkan taktik dengan
membangun hubungan-hubungan dengan pihak lain. Hubungan-hubungan yang
dimaksudkan adalah jaringan yang bersifat informal. Hubungan sosial tersebut diperlukan
agar kepentingan-kepentingan mereka dapat terpenuhi dan mereka dapat memperoleh
sumber daya sosial-ekonomi dan mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi di perkotaan.
Dalam hubungan-hubungan tersebut terdapat dua kategori, yaitu hubungan sosial horizontal
dan hubungan sosial vertikal. Hubungan sosial horizontal adalah hubungan-hubungan yang
melibatkan pihak-pihak yang memiliki status sosial-ekonomi yang relatif sama, dalam arti
sumber daya yang diperoleh maupun sumber daya yang dipertukarkan. Hubungan sosial
vertikal adalah hubungan yang dibangun oleh mereka yang tidak memiliki status sosial ekonomi
yang simetris. Apapun kategori hubungannya, hubungan-hubungan sosial yang dibangun dapat
berbasis kekerabatan, pertemanan, atau campuran. Dengan hubungan sosial ini, manusia
gerobak akan memperbesar kekuatan sekaligus kemampuan mereka, berkomunikasi dengan
yang lain, dan mengoordinasikan tindakan-tindakannya. Nilai-nilai dalam hubungan sosial
seperti kejujuran, resiprositas, dan komitmen yang senantiasa dipelihara bukan hanya pilihan
yang bernilai secara etis, melainkan juga memiliki nilai ekonomi.
Hubungan sosial manusia gerobak dengan pihak lain pada gilirannya bukan sebatas
hubungan: hubungan tersebut juga bermakna taktis dalam memanfaatkan pihak-pihak lain.
Hubungan-hubungan sosial tersebut bersifat adaptif dalam menghadapi tekanan ekonomi
yang semakin meningkat baik di lingkup lokal maupun di lingkup nasional. Melalui
Lembaga 36 Penelitian SMERU
hubungan-hubungan ini, menjadi jelas kemudian bahwa manusia gerobak sebagai golongan
miskin membangun dan memelihara interaksi intensif satu dengan yang lainnya. Dalam
hubungan-hubungan tersebut, ada konteks-konteks tertentu dalam bentuk kepentingankepentingan
khusus yang mengikat kedua belah pihak, membangun kerja sama, dan
mewujudkan integrasi sosial di antara keduanya. Hubungan ini mengindikasikan bahwa orang
miskin di perkotaan tidaklah terisolasi dari lingkungan mereka yang lebih luas, yakni suatu
jaringan sosial yang berusaha memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomis yang mendasar,
bukan suatu kelompok sosial yang memiliki ciri distingtif (Saifuddin, 2007).
3.1.1 Memanfaatkan Hubungan Kekerabatan
Hidup sebagai manusia gerobak pada suatu waktu tertentu juga membutuhkan kehadiran
kerabat, entah kerabat sendiri atau kerabat istri. Kerabat pada suatu saat tertentu dibutuhkan
untuk membuktikan bahwa mereka tidak hidup sendiri. Pada saat lain, kerabat dibutuhkan
untuk memperkuat ekonomi rumah tangga dengan beragam cara.
Rumah tangga Gatot, misalnya, memiliki kerabat di Jakarta, terutama dari pihak istrinya, yaitu
Juleha, yang lahir di Jakarta. Kerabat rumah tangga ini tinggal di sekitar tempat tinggal
mereka. Kondisi hidup manusia gerobak kadangkala tak sesuai dengan kebutuhan anak.
Anak-anak biasanya membutuhkan teman-teman bermain dan hal-hal baru dalam proses
tumbuh kembangnya. Gatot dan Juleha pun menyadari bahwa rumah tangga manusia
gerobak belum mampu memberikan sejumlah hal yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Mereka meminta anak mereka, Dewi, yang berumur 4,5 tahun untuk bermain bersama
sepupunya. Mereka berpikir bahwa hal tersebut lebih baik daripada Dewi bermain dengan
anak-anak jalanan. Selain kebutuhan makan sehari-hari sang anak akan terjamin, ia pun bisa
menonton televisi di rumah tantenya dan belajar bersama anak-anak lain. Pada saat Dewi
pulang diantar oleh tantenya, ia biasanya dibekali makanan, kadang-kadang nasi bungkus,
namun terkadang juga makanan ringan seperti biskuit dan roti. Gatot menuturkan,
Ya emang dia tiap hari nonton TV di rumah adik saya. Dia seneng di sana, ada teman main yang
seumuran juga sama dia, itu sepupunya dia. Nanti kalo sudah malam dia dianterin sama
tantenya di mari. Biasanya dia suka bawa-bawa makanan, kadang jajanan juga buat dimakan
sama adiknya katanya. (Laki-laki, 48, Jatinegara Barat, 2 Februari 2008)
Pada konteks ini, jika mengacu pada jaminan sosial keluarga Jawa seperti ditulis oleh Geertz
(1983: 5), keluarga luas dapat memberikan solusi terhadap permasalahan anggotanya dan masih memerankan fungsinya sebagai penjamin sosial bagi anak-anaknya. Praktik seperti ini nampaknya sudah jarang terjadi, dalam arti keluarga luas tidak lagi memerankan fungsinya
sebagai penjamin sosial bagi anak-anaknya yang akibatnya semua beban pengasuhan anak harus ditanggung oleh keluarga inti. mempertahankan kelangsungan hidup. Dengan cara itu, kekerabatan dijadikan sebagai tempat penitipan bagi anak-anak mereka. Penitipan itu dilakukan dengan tujuan agar anak mereka dapat bermain, belajar, dan makan selayaknya, tidak seperti jika berada di jalanan. Bagi mereka, anak bermain, belajar, dan makan di jalanan bukanlah kondisi yang tepat dan bahkan dapat memengaruhi pertumbuhan anak. Strategi ini jelas menguntungkan bagi rumah tangga
Pemulung: suami dan istri tidak akan disibukkan oleh anak-anaknya karena telah ada yang mengurusi mereka sehingga mereka dapat bekerja dengan lebih tenang dan tidak perlu berwaswas terhadap keadaan anaknya.
disampaikan oleh Geertz (1963) melalui istilahnya, yaitu shared poverty, yang berarti menuntut
3.1.2 Memanfaatkan Hubungan Bukan Kekerabatan
Selain memanfaatkan hubungan kerabat, rumah tangga manusia gerobak juga menggunakan
jaringan bukan kerabat sebagai bagian dari upaya mempertahankan hidup. Jaringan bukan
kerabat ini sangat beragam; beberapa di antaranya adalah hubungan dengan rekan sesama
pemulung, pemilik lapak, dan pemilik warung.
a) Hubungan dengan Rekan Sesama Pemulung
Pemulung lain bagi seorang manusia gerobak bukan hanya sebatas teman kerja. Pemulung
lain di sebuah tempat tinggal juga seperti tetangga. Lebih jauh dari itu, rekan sesama manusia
gerobak pada kondisi tertentu sudah seperti sebuah keluarga yang mensosialisasikan nilainilai,
saling menjaga, dan saling mengasuh satu dengan lainnya. Kadang-kadang mereka saling
mengingatkan jika ada masalah di antara mereka.
Kehadiran manusia gerobak lain kadang-kadang dimaknai lebih dekat daripada kehadiran
keluarga mereka sendiri. Sebagian manusia gerobak masih merasa malu untuk menceritakan
kondisi dan persoalan yang mereka hadapi dengan keluarga sehubungan dengan pekerjaan
sebagai pemulung, sementara dengan sesama manusia gerobak, mereka bebas saling bercerita
dan bertukar pengalaman tentang berbagai masalah termasuk tentang persoalan-persoalan
yang mereka hadapi selama memulung dan taktik-taktik apa saja yang mereka terapkan ketika
bernegoisasi dengan petugas keamanan dan penduduk sekitar yang mereka hadapi.
Selain berbagi pengalaman, rekan sesama manusia gerobak juga biasa saling menolong. Jika
barang-barang bekas yang berhasil mereka kumpulkan hanya sedikit, mereka bisa berutang
kepada rekan sesama manusia gerobak untuk memenuhi kebutuhan makan rumah tangga
dengan jatuh tempo pelunasannya yang satu hari saja. Selain itu, jika salah seorang manusia
gerobak mendapatkan rezeki yang cukup besar, mereka tidak akan merasa sayang untuk
memberikan sebatang rokok kepada temannya yang sudah menjalin hubungan baik
dengannya. Dalam hal ini, sikap tolong-menolong tersebut digerakkan oleh hubungan timbal
balik; artinya seseorang yang pernah menolong tentu akan menerima pertolongan balik dari
pihak yang pernah ditolongnya. Meski tampak seperti tanpa pamrih bagaikan diberikan secara
sukarela, pada akhirnya pertolongan itu akan melahirkan kewajiban bagi pihak yang
menerimanya di kemudian hari untuk membalasnya (Marzali: 2005). Masykur menuturkan,
Hubungan dekat dan baik sesama manusia gerobak terjadi pada saat mereka sudah saling
mengenal. Ketika seorang manusia gerobak berjumpa di jalan dengan seorang pemulung yang
tidak dikenalnya, ia tidak akan menegurnya, dan juga sebaliknya. Manusia gerobak tidak
menyapa bukan karena kedua belah pihak bermusuhan, melainkan karena mereka memiliki
suatu kekhawatiran apabila mereka mengenal dekat pemulung lainnya. Manusia gerobak
menganggap bahwa pemulung lain merupakan saingan mereka dalam mengumpulkan barangbarang
bekas. Jadi, apabila mereka mengenal banyak pemulung lain, mereka khawatir kalaukalau
lokasi-lokasinya akan direbut oleh para pemulung tersebut.
Selain itu, pengalaman kehilangan barang-barang bekas pernah terjadi kepada manusia gerobak
pada saat mereka sedang tidur; hal ini menjadikan mereka lebih berhati-hati dalam
berhubungan dengan pemulung lain. Dalam hal semacam sini, pemulung lain bukan hanya
dianggap sebagai saingan, tetapi juga sebagai ancaman. Manusia gerobak menyadari bahwa di
antara pemulung ada yang ”usil” dengan mencuri barang-barang milik pemulung lain yang telah
dibersihkan. Biasanya pemulung ”usil” ini tidak mengambil seluruh barang bekas, melainkan
hanya sebagian saja dan menyisakan sebagian yang lain untuk pemiliknya. Meski demikian, ulah
ini cukup meresahkan karena telah mengurangi sebagian penghasilan manusia gerobak.
Salah satu taktik yang diterapkan manusia gerobak dalam mempertahankan barang-barang bekas yang mereka miliki dari pencurian oleh pemulung lain adalah dengan tidak mengenal banyak pemulung; kalaupun mengenal mereka, manusia gerobak melakukannya denganberhati-hati. Taktik lain yang mereka gunakan adalah dengan menjaga barang-barang bekas mereka di tempat yang dianggap aman. Untuk menjaga barang-barang bekas mereka yang telah dibersihkan, mereka menempelkan barang-barang tersebut ke badan mereka pada saat mereka sedang tidur. Sebelum terjadi kasus pencurian, barang-barang bekas biasanya mereka letakkan di samping badan mereka, tetapi sekarang barang-barang bekas tersebut dijadikan sebagai bantal atau bantalan kaki. Dengan taktik ini, manusia gerobak berusaha meminimalkan dan mencegah terjadinya pencurian terhadap barang-barang bekas yang telah
berhasil mereka kumpulkan seharian.
b) Hubungan dengan Pemilik Lapak
Pemilik lapak (penampung) dalam bisnis barang-barang bekas berperan sebagai perantara yangmembeli barang-barang bekas dari para pemulung dan menjualnya kepada pedagang besar yangdikenal sebagai ”bos” yang kemudian menjual barang-barang bekas tersebut kepada pabrikpendaurulangan barang-barang bekas. Dalam menjalankan usahanya, pemilik lapak setidaknyamemiliki modal yang cukup, bukan hanya untuk membeli barang-barang bekas, tetapi jugauntuk menyediakan alat kerja seperti gerobak dan juga sejumlah fasilitas kerja sepertipemondokan dan modal kerja. Berdasarkan pengalaman manusia gerobak, pemilik lapakbiasanya mencari anak buah (pemulung) agar usahanya tetap berjalan. Pada saat seperti itu,pemilik lapak akan menyediakan hal-hal yang dibutuhkan oleh pemulung. Karena seluruhkebutuhannya telah dipenuhi oleh pemilik lapak, pemulung berkewajiban untuk mencaribarang-barang bekas dan menjualnya kepada pemilik lapak. Berapa pun harga yang ditetapkanoleh pemilik lapak, pemulung harus menerimanya. Pemilik lapak dalam hal ini akan membelibarang-barang bekas dengan harga serendah mungkin dan berupaya mendapatkan hargasetinggi mungkin ketika menjualnya. Pemilik lapak pun kemudian berupaya untuk menurunkanbiaya produksi dengan mengikat sejumlah pemulung dengan cara menyediakan sejumlahfasilitas bagi pemulung seperti sarana tempat tinggal, sementara pemulung harus menjual
barang-barang bekasnya dengan harga yang rendah kepada pemilik lapak. Harga yangditetapkan bagi pemulung yang tinggal di lapak dikurangi Rp300 setiap kilonya.Pada saat seperti itu, hubungan pemulung dengan pemilik lapak bisa dikatakan patron-klien.Para pemulung diharapkan bekerja keras untuk dapat memberikan pendapatan yang optimalbagi pemilik lapak. Situasi seperti ini jelas tidak menguntungkan pemulung dan pada beberapakasus menimbulkan ketidaksukaan mereka kepada pemilik lapak. Pemulung menganggap caraini sebagai sebuah eksploitasi. Menurut Scott (1983) eksploitasi adalah suatu tata hubunganyang menunjukkan unsur-unsur ketidaksamaan dan paksaan yang begitu menonjoldibandingkan dengan tata hubungan lainnya sehingga tata hubungan ini dapat dengan mudahdikenali dengan cirinya yang lebih bersifat eksploitatif apabila dilihat dari kacamata objektif.
Pada gilirannya, kepentingan pemilik lapak ini bertentangan dengan kepentingan para
pemulung yang berkepentingan terhadap meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan
mereka sendiri. Oleh karena itu, pemulung pun biasanya akan memilih keluar dari lapak,bekerja sendiri secara bebas sebagai manusia gerobak.Ketika menjadi manusia gerobak, seorang pemulung lepas dari aturan-aturan pemilik lapak,namun mereka akan tetap berhubungan dengan pemilik lapak. Hubungan kali ini dianggaplebih adil karena manusia gerobak dapat menjual barang-barang bekasnya ke lapak mana sajadengan lebih bebas sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, manusia gerobak tidak lagidikejar-kejar oleh target atau diperintah oleh pemilik lapak untuk mencari barang-barangbekas. Demikian halnya dengan waktu kerjanya: mereka merasa lebih leluasa dengan jadwalwaktu mencari dan menjual barang-barang bekas.Meski manusia gerobak bebas dalam menentukan penjualan barang-barang bekasnya,biasanya mereka memiliki lapak langganan. Hal itu bertujuan jika nanti ada hal-hal mendesakyang dibutuhkan, pemilik lapak dapat menjadi tempat meminta bantuan. Pemilik lapak dapatmemberikan pinjaman uang dengan cara pembayaran secara mencicil. Hubungan ini bersifatsaling menguntungkan kedua belah pihak karena hubungan tersebut dianggap sederajat, tidakseperti sebelumnya, dalam arti selama menjalani hubungan ini kedua belah pihak yang terlibatdalam hubungan pertukaran dan sosial berkewajiban untuk membalas pemberian yangbernilai positif dengan sesuatu yang bernilai setara atau sebanding. Dalam hubungan sepertiini, manusia gerobak biasanya akan dengan setia menjadi pelanggan lapak bersangkutan,kecuali ada perubahan harga yang ditetapkan secara sepihak oleh pemilik lapak. Dalam situasisemacam ini, manusia gerobak akan menjual barang-barang bekasnya kepada pemilik lapaklain yang memberikan harga lebih tinggi.
Namun demikian, di antara manusia gerobak, ada yang menganggap bahwa pemilik lapaktetap mendapatkan penghasilan yang lebih besar daripada pendapatan mereka. Olehkarenanya, mereka merasa tidak bersalah jika kemudian mereka mengambil keuntungan daripendapatan pemilik lapak. Praktik pengambilan keuntungan itu biasanya dilakukan manusiagerobak dengan cara mencampur barang-barang bekas yang dikumpulkannya agar barangbarangbekas yang harganya lebih murah bercampur dengan barang-barang bekas yangharganya lebih mahal atau kadang-kadang dengan cara membasahi barang-barang bekasmereka sebelum ditimbang. Gatot, misalnya, mencampur kardus bekas berwarna coklatdengan kardus bekas berwarna putih dalam satu tumpukan untuk memperoleh pendapatanyang lebih besar. Dengan strategi seperti itu, pemilik lapak akan menghargai kardus bekasberwarna putih sama dengan harga kardus bekas berwarna coklat. Kardus bekas berwarnacoklat berharga Rp1.200 per kilogramnya, sedangkan kardus bekas berwarna putih berhargaRp800 per kilogramnya. Dengan begitu, Gatot memperoleh margin Rp400 per kilogramnya
untuk penjualan kardus bekas berwarna putih.
c) Hubungan dengan Aparat
Setiap kota selalu saja ingin menampilkan bentuknya sendiri. Sebagai konsekuensinya, mereka
yang dianggap tidak sesuai dengan tatanan kota dipaksa untuk menyeragamkan kehidupannya
sesuai dengan ilusi kota: indah, tertib, dan aman. Bagi pemerintah, kehadiran manusia
gerobak sama saja dengan golongan lain yang memiliki atribut kemiskinan, yaitu golongan
yang senantiasa mengganggu keindahan, ketertiban, dan keamanan kota. Penampilan manusia
gerobak yang kumal dan kehidupan menggelandang mereka dianggap mengotori lingkungan,
mengganggu ketertiban, dan menyebabkan kriminalitas kota. Mereka pun dipaksa untuk
memilih: menyesuaikan kehidupan mereka dengan aturan yang berlaku secara suka rela atau
disingkirkan dari kehidupan kota melalui penggarukan atau penertiban oleh aparat.Penggarukan terkadang dilakukan secara tiba-tiba oleh pemerintah kota. Selain berdasarkanaturan yang ada, penggarukan juga dilakukan berdasarkan laporan dari masyarakat yangmenganggap kehadiran manusia gerobak sebagai sebuah gangguan. Pada saat yang lain,penggarukan semacam ini dilakukan dalam rangka penilaian piala adipura dan kehadiran manusiagerobak dinilai sebagai batu sandungan. Kejadian lain yang juga mendukung terjadinyapenggarukan adalah sewaktu seorang pejabat tinggi akan melewati jalan-jalan tertentu yangkebetulan merupakan tempat mangkal para pemulung bergerobak. Penggarukan biasanya terjadipada saat kebanyakan pemulung sedang mencari makan atau membersihkan barang-barang bekasyang berhasil mereka kumpulkan seharian.
3.2 Memilih Waktu Memulung
Sama dengan jenis pekerjaan lainnya, memulung juga memiliki waktu kerja. Waktu-waktu
tersebut diciptakan oleh kebiasaan warga, toko, warung, dan fasilitas sosial dalam membuangsampah. Dengan demikian, untuk menghasilkan pendapatan yang berlebih, manusia gerobakyang bekerja sebagai pemulung harus memiliki pengetahuan, terutama tentang waktu dantempat dibuangnya barang-barang bekas.Jika jadwal memulung diikuti secara tepat, manusia gerobak bisa mendapatkan penghasilanyang lumayan. Jika mereka melanggarnya, mereka akan menemui banyak kesulitan ketikamelakukan pekerjaannya. Perubahan waktu warga dalam membuang sampahnya padagilirannya juga akan memengaruhi waktu memulung manusia gerobak. Tak jarang, manusiagerobak mengubah kebiasaan jam kerjanya karena mereka menganggap bahwa waktu yangditerapkan selama ini sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada.
Pengetahuan mengenai waktu memulung jelas berimplikasi pada penilaian, baik dari manusia
gerobak maupun dari warga. Pilihan waktu memulung seorang manusia gerobak sendiri dapat
membedakan antara mereka yang pemulung dan mereka yang bukan pemulung. Manusia
gerobak menyatakan bahwa waktu-waktu memulung itu sudah tertentu. Kalau mereka
memulung di luar waktu-waktu yang tertentu tadi, mereka biasanya dituduh bukan pemulung,melainkan (biasanya) pencuri; profesi memulung hanya dijadikan sebagai kedok. Para manusia gerobak memiliki pemahaman secara umum bahwa warga permukiman hanyamembuang sampah satu kali dalam sehari. Biasanya kegiatan membuang sampah dilakukanwarga pada pagi hari, antara pukul 06.00 dan 07.00. Pada jam-jam tersebut, kebanyakan wargamembersihkan rumahnya dan membuang sampah yang telah ditimbun selama seharisebelumnya. Kadangkala, sambil membersihkan rumah, warga juga membuang barang-barangyang tidak dipakai lagi. Sampah dan barang-barang bekas kemudian diletakkan di baksampah, menunggu petugas pengumpul sampah yang akan mengangkutnya. Situasi inimerupakan peluang yang dimanfaatkan oleh manusia gerobak. Mereka harus mendahuluipetugas pengumpul sampah untuk mengambil sampah tersebut. Pengetahuan ini padagilirannya memengaruhi perilaku manusia gerobak untuk secepatnya bangun pagi dankemudian mendatangi permukiman warga dari rumah ke rumah. Jika tidak, mereka hanyaakan mengandalkan sampah dan barang-barang bekas dari container sampah yang kadangkalatelah diambil lebih dulu oleh petugas kebersihan warga.Menurut manusia gerobak, mereka bisa mendapatkan banyak barang-barang bekas yang bisamereka manfaatkan dari sampah warga di pagi hari. Namun, karena semua pemulung samasamamengetahui hal ini, barang-barang bekas ini banyak diperebutkan. Oleh karena itu, siapayang lebih dahulu datang tentu akan memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkansampah yang banyak. Selain persaingan dari pemulung lain, persaingan juga datang daripetugas pengumpul sampah RT/RW. Para petugas ini juga memanfaatkan barang-barangbekas untuk menambah pendapatan mereka.11 Namun demikian, pemanfaatan barang-barangbekas ini merupakan pekerjaan sambilan saja dan hanya barang-barang bekas tertentu sajayang diambil sehingga mereka masih menyisakan barang-barang bekas bagi para pemulung.Selain petugas, para pedagang yang ikut mengumpulkan gelas dan botol kemasan jugamenjadi saingan berat Manusia gerobak lain yang mengandalkan barang-barang bekas dari container sampah biasanyalebih memilih memulung antara pukul 09.00 dan pukul 10.00. Pada saat itu, gerobak sampah parapetugas RT/RW telah selesai mengangkut sampah warga dan sampah tersebut telah dibawa kecontainer sampah. Namun, tidak semua container sampah kelurahan mengumpulkan sampah padajam-jam itu. Ada beberapa kelurahan yang pengumpulan sampahnya dilakukan pada siang hari,sore hari, atau malam hari. Hal ini biasanya bergantung pada kebijakan pengelola sampah di tiaptiapkelurahan. Kebiasaan yang berbeda ini diketahui oleh manusia gerobak sehingga di antaramereka ada yang pergi dari container sampah yang satu ke container sampah lainnya.Memulung pada larut malam atau dini hari, misalnya, menurut manusia gerobak, dilakukankarena tidak semua warga membuang sampahnya pada pagi hari. Ada sebagian warga yangtidak ingin direpotkan dengan membuang sampah pada keesokan paginya. Oleh karenanya,warga lebih memilih untuk membuang sampahnya pada malam hari menjelang waktu tidurmereka. Selain warga biasa, warung kelontong, warung nasi, dan toko selalu membuangsampahnya pada malam hari menjelang tutup. Situasi lain yang dipertimbangkan adalahbahwa kebanyakan warga membuat bak sampahnya di luar pagar rumahnya sehinggapemulung dapat menjangkaunya tanpa perlu masuk ke dalam. Pagar merupakan batas yangjelas antara daerah yang ada di luar pagar dan di dalam pagar. Siegel (1986: 125) mengatakanbahwa pagar merupakan manifestasi yang kuat dari keamanan. Lebih lanjut dikatakan bahwatujuan dari pembuatan pagar merupakan sebuah deskripsi dari batas kepemilikan dan proteksidari pencurian atau orang yang tidak diinginkan yang bisa memasuki sebuah daerah. Olehkarena itu, pencarian barang-barang bekas di malam hari jarang dilakukan oleh manusiagerobak; mereka khawatir akan dicurigai oleh warga. Manusia gerobak berusaha menghindarituduhan warga bahwa pemulung itu sama dengan maling. Dengan kesadaran semacam ini, manusia gerobak hanya memulung di tempat-tempattertentu yang relatif terbuka seperti bak-bak sampah di pinggir jalan-jalan besar manakalamereka memulung pada malam hari. Dengan demikian, mereka akan terhindar dari tuduhandan bahkan pengintaian warga. Manusia gerobak tersebut menguatkan pandangan bahwabarang-barang bekas itu ada di mana saja dan untuk memulungnya, tidak ada batasan waktu.Orang dapat membuang sampah atau barang-barang bekas kapan dan di mana saja. Bagimanusia gerobak, yang penting adalah mendapatkan barang-barang bekas dan kalaumemungkinkan, mereka harus bisa mendahului pemulung lainnya agar mereka bisamengumpulkan lebih banyak barang-barang bekas.Berbeda dengan manusia gerobak malam yang tidak masuk ke permukiman warga, manusiagerobak yang mulai bekerja sejak dini hari, yaitu sekitar pukul 03.00, lebih berani masuk kepermukiman warga karena pada saat itu kebanyakan warga masih tidur. Mereka memulungsejak dini hari karena mereka bisa mendapatkan barang-barang bekas yang dibuang di jalanan,gang-gang, dan lorong-lorong pada malam harinya, apalagi tidak semua warga masyarakatmembuang sampah pada pagi hari. Pada dini hari seperti ini, kebanyakan pemulung jugasedang beristirahat sehingga hanya ada sedikit persaingan saja atau bahkan tidak adapersaingan sama sekali. Kalau beruntung, seorang manusia gerobak dapat menjadi orang yangpertama mengumpulkan barang-barang bekas. Pada kasus-kasus tertentu, pilihan waktusemacam ini juga tidak sepenuhnya aman dari kecurigaan atau tuduhan warga permukiman.Manusia gerobak tentu ingin merasa aman agar dia dapat mempertahankan kehidupannya.Kecurigaan dan tuduhan warga pada satu sisi telah menyudutkan sebagian pemulungsehingga mereka lebih memilih untuk menghindari melakukan pekerjaannya pada malam dandini hari. Namun, di antara manusia gerobak tetap saja ada yang melakukan pekerjaannyapada waktu-waktu tersebut dengan mempertimbangkan serangkaian situasi yang ada.Manusia gerobak yang bekerja pada malam atau dini hari seperti disebutkan di atas biasanyamemulung sendirian. Dengan memulung sendirian, mereka mencoba mengubah pandanganwarga tentang pemulung; bukankah dengan memulung sendirian, kemungkinan seorangmanusia gerobak untuk melakukan tindakan kriminal menjadi kecil karena ia memilikikemampuan yang terbatas dalam kesendiriannya tersebut. Hal ini tentunya berbeda dengankeadaan manusia gerobak yang memulung berdua atau bertiga pada malam hari. Ketika merekakeluar dari dan masuk ke permukiman warga, mereka akan dicurigai bukan hanya oleh wargapermukiman, tetapi juga oleh para pemulung sendiri. Strategi lain yang diterapkan oleh manusiagerobak adalah dengan menyerahkan tugas memulung pada malam atau dini hari kepadaperempuan. Sebagian warga menganggap perempuan jauh dari kriminalitas. Oleh karenanya,perempuan pemulung dapat dengan lebih bebas menjalankan pekerjaannya. Selain itu, faktorusia juga dipertimbangkan oleh manusia gerobak untuk keluar malam. Biasanya pemulungmuda akan mudah dicurigai oleh warga, berbeda dengan pemulung lanjut usia. Kecurigaanterhadap pemulung lanjut usia akan berkurang karena kaum tua tidak sekuat kaum muda.Pengalaman dan pengetahuan mengenai waktu memulung ini tidak dengan serta-merta terjadi.Teknik memulung seorang pemulung lama biasanya tersosialiasikan kepada pemulung-pemulungbaru. Teknik-teknik tersebut setidaknya meliputi pilihan waktu, pilihan tempat, dan caramengumpulkan dan menjual barang-barang bekas. Namun, teknik pemulung lama tidak secaraketat diacu oleh pemulung lainnya. Persinggungan sehari-hari antara pemulung dan perilakuwarga dalam membuang sampah juga menambah pengalaman baru kepada para pemulungsehingga pada gilirannya pengalaman baru ini akan memengaruhi teknik memulung mereka yangbisa jadi berbeda dengan teknik-teknik memulung yang dimiliki oleh pemulung lama.
3.3 Memilih dan Menguasai Tempat
Giddens (dalam Barker, 1999) menyatakan bahwa memahami tata cara dari tindakan manusiayang didistribusikan dalam ruang adalah kunci penting untuk melakukan analisis sosial. Untukmenganalisis ruang diperlukan pembedaan antara ruang (space) dan tempat (place). Pengertiantempat ditandai oleh adanya pertemuan tatap muka, sedangkan ruang mengacu pada gagasanabstrak; satu ruang kosong yang kemudian diisi oleh tempat yang konkret dan spesifik, danorang-orang. Dengan demikian, yang disebut sebagai tempat adalah pusat dari pengalaman,ingatan, dan identitas manusia.Mengacu pada definisi di atas, tempat bagi manusia gerobak menjadi sangat penting dalammempertahankan posisinya. Yang dimaksud tempat di sini bukan hanya tempat yang menjadilokasi tinggal mereka, tetapi juga tempat-tempat di mana mereka mengumpulkan barangbarangbekas. Di beragam tempat itulah, manusia gerobak menampilkan kegiatan sehariharinyapada waktu-waktu yang berbeda dan sekaligus menjalankan strategi bertahan hidupseperti mencari makan, mencari uang, dan menghabiskan waktu luang.Sebuah rumah tangga manusia gerobak memilih lokasi tinggalnya berdasarkan serangkaianargumentasi tertentu. Argumentasi yang mereka bangun bukan hanya berdimensi ekonomi,tetapi juga berdimensi sosial-budaya. Secara ekonomi, hidup menggelandang itu gratis;mereka tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Berbeda halnya jika mereka mengontrakkamar; mereka akan terbebani oleh biaya kontrak bulanan. Menurut mereka, hidup merekasudah penuh dengan beban; jadi tidak perlu ditambah beban lagi. Kondisi ini dapatdimaklumi karena hidup mereka subsisten; besok saja belum tahu apa yang akan terjadi,apalagi bulan depan. Uang kontrakan dianggap sebagai beban dan mengganggu konsentrasi
mereka dalam bekerja. ”Seperti ada target,” kata seorang manusia gerobak (perempuan, 40,
Jatinegara Timur II, 17 Februari 2008).
Sewaktu sebuah rumah tangga manusia gerobak memilih lokasi tinggal, mereka juga
melakukannya berdasarkan pertimbangan ekonomi dan nonekonomi. Nash (1986)
menyatakan bahwa dari pengalaman sehari-hari di berbagai lokasi memungkinkan setiap
warga kota untuk menyusun suatu gambaran dalam pikiran mengenai sebuah daerah. Oleh
Lembaga Penelitian SMERU 49
karenanya, mereka bisa mengenal daerah yang dianggap aman dan daerah yang berbahaya. Ini
mengindikasikan bahwa sebuah ruang sesungguhnya dikelola secara kultural, disusun dan
dihadirkan. Dalam hal ekonomi, pemulung biasanya mempertimbangkan aspek kedekatan
dengan sumber-sumber yang mereka butuhkan: barang-barang bekas, kebutuhan pokok, dan
lokasi penjualan. Dengan begitu, mereka akan lebih untung baik secara materi maupun secara
waktu. Seorang pemulung menuturkan mengenai pilihan tempatnya,
Saya tinggal di sini karena dekat dengan pasar. Di pasar itu banyak sampah yang bisa saya
pungut. Juga di sebelah sana ada banyak lapak; jadi saya tidak perlu jalan jauh untuk mencari
dan menjual barang bekas. (Perempuan, 50, Pasar Jatinegara, 8 Maret 2008)
Pertimbangan nonekonomi lebih didasarkan pada keamanan sebuah lokasi, terutama dari
penggarukan aparat pemerintah. Oleh karena itu, beberapa pemulung lebih suka menempati
lokasi yang dianggap tersembunyi dari pandangan orang luar. Namun, pada kenyataannya,
lokasi tinggal sebagian besar manusia gerobak tidak begitu tersembunyi. Mereka memilih
lokasi tersebut sebagai lokasi tinggal karena di lokasi tersebut tidak sering terjadi
penggarukan. Dadang bercerita, ”Saya telah beberapa kali pindah lokasi karena tempat
tersebut sering digaruk, tapi di sini jarang sekali terjadi garukan oleh aparat” (laki-laki, 25,
Jembatan Item, 16 Januari 2008).
Sebelum tinggal di Jatinegara, Dadang pernah tinggal di Matraman. Namun, baru tinggal di
tempat tersebut selama tiga bulan, Dadang sudah digaruk oleh aparat. Lokasi tinggalnya harus
dibersihkan sebab walikota akan melewati tempat tersebut keesokan harinya. Ia menuturkan,
Pernah digaruk waktu di Matraman. Saya sempet berantem sama mereka. Abis mereka kasar.
Lagi enak-enak tidur ya, mereka nendang saya sambil teriak-teriak ’Pindah! Pindah! Bikin
kotor!’ Saya bangun aja. Saya tantangin mereka. Untungnya, ada yang dateng misahin. (Lakilaki,
25, Jembatan Item, 16 Januari 2008)
Pemilihan tempat tinggal oleh manusia gerobak merupakan bagian dari upaya pengamanan diri,
rumah tangga, dan kekayaan yang mereka miliki. Praktik keruangan sehari-hari yang dilakukan
oleh pemulung dengan arti tertentu merupakan sebuah bentuk perlawanan sehari-hari yang
merupakan perluasan dari respons mereka terhadap bentuk represi dan dominasi sehari-hari.
Pada lokasi kerja, strategi yang dipraktikkan adalah dengan menguasai lokasi tersebut.
Setidaknya, ada dua tipe lokasi kerja para pemulung, yaitu lokasi yang tidak dapat dimiliki dan
lokasi yang bisa dimiliki. Pada dasarnya, lokasi kerja pemulung tidak dapat dimiliki, namun
karena lokasi tersebut dipandang memiliki sumber daya yang berlebih, ada pihak-pihak
tertentu yang berusaha menguasainya. Container sampah, misalnya. Pada awalnya, siapa saja
dapat mengaduk-aduknya untuk mencari barang-barang bekas. Namun, karena container
sampah dianggap sebagai sumber daya ekonomi yang penting, ada pemulung tertentu yang
berusaha menguasainya. Seorang pemulung yang menguasai sebuah container sampah
menjelaskan bahwa ia memutuskan untuk menguasai container sampah bersangkutan karena
terdapat banyak barang-barang bekas yang dibuang warga ke container sampah tersebut. Ia
menggambarkan pengalamannya sebagai berikut.
Awalnya, saya hanya berkeliling di sekitar sini-sini aja. Kadang saya mencari barang bekas di
container ini dan ternyata lumayan. Terus, petugas yang mengumpulkan sampah sudah tua, jadi
saya bantu untuk memindahkan [sampah] dari gerobak ke container. Petugas itu bilang, ’Ya
sudah tungguin aja barang bekas di container saja.’ Sejak saat itu, saya parkir gerobak di samping
container dan pemulung lain yang tidak kenal saya tidak ada yang mencari barang bekas di
container ini. (Laki-laki, 40, dekat sebuah container sampah di Kebun Nanas, 9 Februari 2008)
Lembaga 50 Penelitian SMERU
Penguasaan terhadap container sampah ini pada awalnya dilakukan dengan memarkir gerobak
berdekatan dengan container sampah tersebut. Praktik memarkir gerobak itu dilakukan setiap
hari secara rutin, mulai dari pagi hari sampai siang hari. Pada saat gerobak diparkir, pemulung
tidak mesti berada di tempat tersebut, melainkan dapat pergi, misalnya, berkeliling di sekitar
permukiman warga dengan menggunakan karung. Dalam hal ini, gerobak menjadi penanda
adanya penguasaan terhadap objek tertentu. Melalui gerobak itu, para pemulung lain
mengetahui bahwa container sampah tersebut telah dikuasai. Kehadiran gerobak yang terusmenerus
di container sampah tersebut pada gilirannya akan membuat pengurus RT/RW
bertanya-tanya siapa gerangan yang memiliki gerobak itu. Biasanya pemulung yang
bersangkutan disuruh menghadap untuk menyepakati hal-hal tertentu seperti menjaga
kebersihan container sampah dan menyetorkan uang kebersihan. Uang kebersihan ini pada
dasarnya merupakan upeti kepada pengurus RT/RW. Manusia gerobak biasanya mengiyakan
kesepakatan itu. Dengan begitu, ia akan merasa lebih aman dalam bekerja. Sejak saat itulah,
seorang manusia gerobak mendapatkan legitimasi atas penguasaan container sampah.
Setiap kali penguasaan terhadap container sampah terjadi, itu berarti sudah ada batasan bagi
pemulung lain. Mereka tidak punya hak lagi untuk memulung di container sampah tersebut.
Seandainya tetap ada pemulung yang mencari barang-barang bekas di tempat tersebut,
pertengkaran akan terjadi di antara kedua belah pihak, baik itu pertengkaran mulut maupun
pertengkaran fisik. Sang penguasa container sampah biasanya akan mempertahankan lokasi
kekuasaannya dengan cara apapun. Biasanya, penguasa telah memiliki hubungan yang baik
dengan para pengurus RT/RW, petugas kebersihan, dan warga di sekitar container sampah
tersebut. Dengan begitu, penguasa container sampah akan lebih mudah mendapatkan dukungan
dari berbagai pihak tersebut dengan dasar kesaksian mereka bahwa ia telah lama menjadi
penguasa container sampah tersebut. Namun, penguasaan pemulung terhadap container sampah
tersebut tidak berjalan seharian penuh; pada saat gerobak yang dijadikan sebagai penanda
kekuasaan sudah tidak ada di dekat container sampah, hal ini berarti bahwa penguasaan terhadap
tempat tersebut telah hilang dan siapa pun berhak memperebutkan sampah di dalamnya.
Penguasaan terhadap bak sampah yang terdapat pada fasilitas sosial seperti rumah sakit
berbeda dengan penguasaan atas container sampah. Sebagai sebuah fasilitas sosial yang cukup
ramai, rumah sakit jelas menghasilkan sampah yang melimpah. Berbeda dengan container
sampah, bak sampah dari fasilitas sosial ini dikuasai siang dan malam oleh penguasanya dan
tidak boleh ada seorang pun yang mengambil sampah dari bak sampah tersebut. Penguasaan
terhadap bak sampah seperti ini lebih kompleks sifatnya. Manusia gerobak harus membayar
sejumlah uang tertentu untuk mendapatkannya. Bukan hanya itu, rumah tangga manusia
gerobak ini juga harus memberikan sejumlah uang untuk keperluan rukun warga setempat,
baik secara rutin maupun secara insidental manakala ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
wilayah itu. Dengan begitu, posisi pemulung ini semakin kuat dan akan semakin dilindungi
oleh mereka yang menikmati hasil dari barang-barang bekas.
Pada satu sisi, praktik seperti ini merugikan manusia gerobak, namun pada sisi lain, rumah
tangga manusia gerobak menilai bahwa ada keuntungan-keuntungan lain yang mereka
peroleh. Selain uang, mereka juga tidak perlu direpotkan lagi oleh keharusan berkeliling jauh,
hujan, dan teriknya matahari. Berdasarkan hitungan keuntungan yang akan didapatkan
tersebut, selanjutnya rumah tangga Manda, seorang perempuan pemulung, menyetujui
kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
Sebagian manusia gerobak tidak hanya memungut barang-barang bekas di jalanan, bak-bak
sampah, dan container sampah. Mereka juga terkadang membelinya dari warung-warung dan para
warga yang mengumpulkan barang-barang bekas. Sebagian warga kota telah mengetahui bahwa
Lembaga Penelitian SMERU 51
barang-barang bekas memiliki nilai jual, namun mereka tidak menjadikan memulung atau menjual
barang-barang bekas sebagai pekerjaan utama mereka. Warung atau warga pengumpul barangbarang
bekas biasanya hanya mengandalkan barang-barang yang mereka peroleh sendiri dari
lingkungan mereka. Di antara mereka, seringkali ada yang menjualnya kepada pemulung. Ketika
seorang manusia gerobak memiliki modal dan kedua belah pihak bersepakat mengenai harganya,
pembelian pun akan terjadi. Jika tidak, warung atau warga pengumpul barang-barang bekas akan
menjualnya ke pemulung lain. Dalam kasus seperti ini, para pemulung sudah menganggap warung
dan warga pengumpul barang-barang bekas sebagai langganan apabila mereka telah bertransaksi
paling tidak satu kali. Dalam waktu seminggu, misalnya, manusia gerobak akan mengunjungi
warung dan warga pengumpul barang-barang bekas. Pada saat ada pemulung lain yang hadir dan
berniat membeli barang-barang bekas, biasanya kedua pemulung akan terlibat dalam pertengkaran.
Pemulung yang baru dianggap mencoba merebut langganan pemulung yang lama.
Penguasaan terhadap fasilitas publik seperti jalan oleh manusia gerobak bukan merupakan upaya
untuk mengurangi pengeluaran rumah tangga saja, tetapi juga merupakan bentuk perlawanan
mereka kepada warga dan pemerintahan kota. Penguasaan terhadap jalan diwujudkan salah
satunya dengan cara melawan arus lalu lintas. Secara aturan, melawan arus lalu lintas merupakan
sebuah tindakan pidana, namun manusia gerobak dengan gerobaknya berani melawan arus
bahkan memotong jalan agar waktu mereka terpakai dengan lebih efisien dan tenaga mereka tidak
terkuras banyak. Praktik memotong jalan ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh manusia
gerobak dengan gerobaknya. Perilaku ini mirip dengan kebiasaan para pengendara motor yang
juga sering memotong jalan agar mereka lebih cepat sampai ke tempat tujuan mereka.
Manusia gerobak bermaksud menunjukkan bahwa tidak ada aturan yang mengatur gerobak di
jalan raya sehingga gerobak dapat dengan bebas jalan ke mana saja dan dari arah mana saja;
yang terpenting adalah bahwa manusia gerobak tidak akan terkena sanksi. Berbeda halnya
dengan sepeda motor yang sebenarnya terikat oleh sejumlah aturan, namun tetap saja aturanaturan
tersebut dilanggar. Hal ini menunjukkan bahwa manusia gerobak memahami betul
aturan-aturan yang telah ditetapkan, termasuk celah-celahnya.
Kehadiran manusia gerobak di jalanan sering dianggap oleh pengendara kendaraan bermotor
sebagai sumber kemacetan lalu lintas. Tak jarang, mobil atau motor membunyikan klakson agar
para pemulung menyingkir atau memberikan ruang bagi lajunya kendaraan. Menanggapi hal itu,
manusia gerobak menyatakan bahwa jalan adalah fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan oleh
semua orang, termasuk manusia gerobak dan gerobaknya. Menurut mereka, yang menjadi sumber
kemacetan adalah kendaraan itu sendiri yang dianggap tidak sesuai dengan kapasitas jalan.
Seringkali, gerobak tidak akan meminggir ketika gerobak tersebut menghalangi jalannya
kendaraan walaupun hal tersebut akan menyebabkan kemacetan. Ketika kemacetan akhirnya
terjadi, gerobak tidak bisa jalan dan pemulung lebih bisa bersabar menunggu. Mereka tidak
pernah memprotes kendaraan yang berada di depannya. Selain bertindak seperti itu, manusia
gerobak juga berani bersuara, bahkan mengumpat, ketika para pengendara kendaraan bermotor
membunyikan klakson. Mereka dengan ringan akan berkata, ”Emang jalan nenek moyang lo!”
Kehadiran manusia gerobak yang turut meramaikan jalan raya menunjukkan bahwa jalan
sebagai ruang publik jelas diperebutkan oleh banyak pihak, terutama para pengendara
kendaraan bermotor dan juga manusia gerobak. Di perkotaan, trotoar memiliki banyak fungsi
dan menampung banyak kegiatan. Beragam orang memanfaatkannya dengan caranya masingmasing.
Namun, pada kenyataannya, pemerintah kota telah melakukan proses estetikasi, atau
pengindahan, terhadap trotoar sehingga trotoar tidak lagi menjadi sebuah ruang publik yang
murni. Selain itu, kondisi jalan yang tidak lagi memadai telah menyebabkan para pengendara
kendaraan bermotor untuk menggunakan trotoar sebagai alternatif jalur lalu lintas. Sebagai
Lembaga 52 Penelitian SMERU
akibatnya, pihak-pihak yang akan memanfaatkan trotoar sebagaimana mestinya merasa
diabaikan hak-haknya. Kontestasi, atau pertentangan, di jalan raya ini semakin menunjukkan
kemampuan manusia gerobak dalam memberikan perlawanan terhadap para pengendara
kendaraan bermotor. Upaya perlawanan mereka pada satu sisi dapat dimaknai sebagai aksi
pengembalian fungsi jalan sebagai ruang publik yang bisa dinikmati secara bersama, tidak
hanya dinikmati oleh golongan tertentu saja. Setidaknya, mereka berupaya untuk mewakili
suara para pejalan kaki dan pengendara sepeda yang selama ini terampas hak-haknya oleh
pengendara kendaraan bermotor yang sebenarnya telah diberi jalan khusus.
Satu lagi taktik manusia gerobak yang dipraktikkan pada saat-saat tertentu adalah yang
menyangkut pemilihan antara karung dan gerobak sebagai alat kerja. Sebagai pemulung
bergerobak, tentu saja mereka memiliki gerobak sebagai alat kerjanya. Namun, pada saat-saat
tertentu, gerobak tidak dipergunakan sebagai alat kerja karena beragam pertimbangan.
Keputusan untuk menggunakan karung pada dasarnya merupakan salah satu taktik mereka.
Hal ini mereka lakukan dengan alasan efisiensi karena kondisi jalan yang semakin sempit
sehingga akan menyulitkan kalau mereka harus memulung dengan menggunakan gerobak.
Rani menuturkan, ”Kalau mencari dengan membawa gerobak, sulit karena jalanan sempit. Ini
Kepala Negara sudah tahu jalanan sempit, masih juga ditambahin busway. Ya makin sempit”
(perempuan, 41, Jatinegara Timur II, 27 Februari 2008).
3.4 Menggelandang sebagai (Gaya) Hidup
Hubungan identitas dan tempat sangat erat. Identitas merupakan sesuatu yang membedakan
diri dari atau menyamakan diri dengan orang lain, baik secara personal maupun sosial; dengan
kata lain, apa yang membuat diri seseorang sama dengan orang lain sekaligus membuat
dirinya berbeda dari orang lain. Identitas sosial menyatu dengan hak, kewajiban, dan sanksi
normatif, serta peran apa yang harus dijalankan dalam kelompok. Jadi, identitas merupakan
sesuatu yang diciptakan melalui interaksi sehari-hari.
Demikian halnya dengan manusia gerobak. Dalam kesehariannya, mereka tidur di gerobak,
emper toko, trotoar, kolong jalan tol, dan tempat-tempat lain yang mereka anggap tepat.
Manusia gerobak memang tidak memiliki rumah, sebuah tempat tinggal seperti yang
dibayangkan masyarakat umum. Manusia gerobak tinggal di lokasi-lokasi tanpa batas wilayah
publik dan privat dan tanpa dinding dan atap; mereka hidup sebagai gelandangan.
Sebagian manusia gerobak mengaku bahwa mereka memiliki uang untuk menyewa rumah
kontrakan. Namun, bagi mereka rumah kontrakan tersebut tidaklah terlalu bermanfaat bagi
pekerjaan mereka. Selain itu, kehidupan di dalam kampung dinilai tidak bebas sebagaimana
hidup di jalanan. Maya mengungkapkan,
Saya mempunyai satu kamar di daerah Kebun Nanas. Saya membayar Rp150.000 per bulan,
namun saya lebih senang kumpul dengan teman-teman sesama pemulung yang tidur di jalanan.
Di sini [jalanan], hidup lebih bebas. (Perempuan, 38, Jembatan Item, 26 Januari 2008)
Seorang pemulung lain menambahkan,
Saya punya uang untuk membayar kontrakan. Kalau mau, saya bisa tinggal di rumah saya
dulu, namun di sana suka banjir. Tapi, kerja memulung itu kan dianggap negatif sama warga;
jadi lebih baik tinggal di jalan. (Laki-laki, 25, Jembatan Item, 27 Januari 2008)
Lembaga Penelitian SMERU 53
Berbeda dengan kedua pemulung tersebut, Hamdani memilih menggelandang karena ia tidak
mampu membayar uang sewa bulanan rumah kontrakan. Menurutnya, penghasilan pemulung
itu tidak menentu. Untuk makan sehari-hari saja belum pasti ada, apalagi kalau harus juga
membayar uang sewa rumah kontrakan yang harganya sudah mahal. Hamdani menyatakan,
Kalo punya uang, ya pengen ngontrak. Nggak hidup di jalan seperti ini. Kalau ngontrak kan,
nggak kedinginan [dan] anak bisa maen. Kita juga bisa bergaul. Nggak malu. Ya bisa seperti
orang-orang deh. Nah, kalo di jalanan seperti ini, [kami] selalu kuatir. Kalau ada garukan,
mesti pindah-pindah. (Laki-laki, 40, Jatinegara Timur II, 27 Februari 2008)
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa menggelandang bukan merupakan suatu keadaan
terpaksa yang disebabkan oleh keterbatasan ekonomi saja, tetapi, lebih jauh dari itu,
menggelandang juga merupakan sebuah pilihan hidup. Manusia gerobak memandang hidup
menggelandang sebagai sebuah ekspresi kebebasan hidup. Menurut Sullivan (1982: 12–13),
kampung merupakan sebuah ikatan yang keanggotaannya ditandai dengan keterlibatan dalam
berbagai kegiatan kampung seperti ronda malam, arisan, kegiatan gotong royong, dan
semacamnya. Keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas itulah yang membuat seseorang
digolongkan sebagai warga kampung atau bukan. Dengan demikian, warga kampung
merupakan sekumpulan orang-orang yang hidupnya penuh dengan aturan-aturan dan mereka
semua harus menaatinya. Jadi, warga kampung bukanlah orang-orang yang bebas karena
mereka terikat oleh aturan-aturan tersebut.
Dibandingkan dengan warga permukiman, manusia gerobak memiliki kebebasan yang lebih
besar. Gaya hidup menggelandang ini sekaligus merupakan sebuah upaya penegasan bahwa
kehidupan mereka berbeda dengan gaya hidup warga kampung. Mereka tidak terikat oleh aturanaturan
kampung yang justru menjadi beban bagi kehidupan sehari-harinya. Mereka secara bebas
dapat tinggal di mana saja, tidur di mana saja mereka mau, dan lain-lain, tidak ada yang melarang.
Dengan demikian, manusia gerobak relatif mampu untuk mengurus dirinya sendiri dan tidak
terikat oleh aturan-aturan dari lingkungan warga sekitar. Pengertian bebas dengan demikian
dimaksudkan sebagai lawan dari aturan-aturan yang diterapkan pada warga lain.
Selain itu, kebebasan bagi mereka juga dimaknai sebagai kemampuan untuk tinggal di mana
dan kapan saja mereka mau. Dengan demikian, kebebasan bagi manusia gerobak ini ditandai
oleh mobilitas mereka dari satu lokasi ke lokasi lain. Mobilitas itu bukan hanya dalam hal
perpindahan lokasi kerja yang dilakukan setiap hari, tetapi juga dalam hal pilihan lokasi tinggal
yang dianggap aman bagi kelangsungan hidup rumah tangganya.
Praktik menggelandang yang dilakukan pemulung bukan tanpa tujuan. Manusia gerobak
melakukan praktik menggelandang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dari hasil
berinteraksi mereka. Menurut manusia gerobak, ada banyak hal yang mereka peroleh seiring
perjalanan mereka seperti menambah teman sesama pemulung dan orang jalanan lainnya.
Pertambahan teman pada gilirannya akan menambah pengetahuan mereka tentang kehidupan
jalanan. Pengetahuan tentang kehidupan jalanan ini selanjutnya akan menambah referensi
mereka yang mungkin akan berguna bagi kehidupan mereka di masa datang.
Penggelandangan manusia gerobak juga sangat berkaitan dengan upaya untuk
mempertahankan kelangsungan hidup mereka sebab dengan mengembara, mereka dapat
menemukan tempat-tempat baru yang dianggap memiliki potensi sumber daya yang mereka
butuhkan. Selain itu, pengembaraan seorang manusia gerobak terkadang dilakukan untuk
menghindari penggarukan yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang selalu mengincar para
pemulung. Dalam kasus lain, mobilitas manusia gerobak terkadang dilakukan untuk
menghindari konflik dengan sesama pemulung.
Lembaga 54 Penelitian SMERU
Gatot, misalnya, rela berpindah-pindah tempat tinggal hanya untuk menghindari pengaruh
tidak baik dari sesama manusia gerobak. Selain itu, Masykur beserta istrinya juga rela
berpindah tempat tinggal karena ulah seorang pemulung yang telah membuat marah seorang
pemilik toko. Pemilik toko mengatakan bahwa manusia gerobak yang tinggal di emper
tokonya tidak menjaga kebersihan. Masykur mengenal pemulung yang dimaksud, namun
untuk menghindari konflik dengan pemilik toko maupun dengan pemulung tersebut,
Masykur memilih untuk pindah tempat tinggal.
Hidup menggelandang bukannya tanpa risiko. Kehidupan semacam ini melibatkan baik risiko
tubuh maupun risiko sosial. Risiko tubuh yang dimaksud di sini terkait dengan kesehatan dan
penampilan mereka, sementara risiko sosial lebih berkaitan dengan upaya-upaya untuk
menyingkirkan mereka. Manusia gerobak menyadari benar risiko dari gaya hidupnya.
Ketidakmampuan untuk mengakses air bersih dalam jumlah yang cukup membuat mereka
jarang mandi, keramas, dan mencuci pakaian yang mereka miliki. Selain itu, pakaian yang
mereka miliki hanya beberapa potong saja; itupun dipergunakan untuk kerja dan juga tidur.
Terkadang mereka juga baru menggantinya setelah beberapa hari. Singkatnya, manusia
gerobak tidak peduli dengan dandanan mereka. Maka, tidak aneh kalau tubuh mereka
menjadi dekil, hitam, dan terkadang bau.
Situasi ini pada gilirannya memicu reaksi pemerintah dan masyarakat. Mengacu pada Douglas
(1966: 35), bagi pemerintah kota, kehadiran manusia gerobak dengan penampilan yang kumal
dipandang sebagai upaya pengotoran kota dan sekaligus penyebaran bibit perilaku kriminal yang
dapat merusak tatanan yang berlaku. Manusia gerobak pun kemudian dianggap tidak layak untuk
tinggal di kota dan harus disingkirkan agar tidak mengganggu keindahan dan tatanan kota. Aparat
pemerintah pun kemudian melakukan upaya penggarukan. Dari sudut pandang aparat
pemerintah, razia atau penertiban sosial diyakini merupakan cara yang paling jitu untuk
membersihkan kota dari gelandangan atau orang jalanan (Twikromo, 1999: 121–122). Lebih
lanjut dikatakan bahwa upaya ini bisa secara langsung mengurangi jumlah orang jalanan,
setidaknya untuk sementara waktu. Wahyu bertutur mengenai perpindahan lokasi, ”Ya kita ini,
kalau digaruk, ya pergi. Nanti kalau sudah aman, ya balik lagi ke tempat ini” (laki-laki, 50, Pasar
Jatinegara, 14 Maret 2008).
Praktik kembali ke lokasi awal ini hampir selalu dilakukan oleh manusia gerobak. Mereka
melakukan hal ini karena mereka memandang bahwa lokasi awal tersebut masih dianggap
baik dan harus dipertahankan sampai waktu-waktu tertentu. Selain itu, penggarukan yang
dilakukan oleh para aparat itu tidak perlu ditakuti karena dalam beberapa kasus, mereka justru
mendapatkan informasi tentang rencana penggarukan dari aparat. Dengan begitu, mereka
bisa menghindar terlebih dahulu. Manusia gerobak menganggap bahwa berpura-pura seperti
ini lebih aman daripada melawan secara frontal.
Selain penampilan tubuh yang kotor, manusia gerobak juga tidak memiliki identitas
kependudukan. Bagi aparat pemerintah dan aparat kampung, siapa pun yang tidak memiliki
kartu tanda penduduk akan dikategorikan sebagai penduduk gelap, yaitu orang yang tidak
memiliki status kewarganegaraan resmi (Sullivan, 1992: 131–132). Adalah sebuah kenyataan
bahwa manusia gerobak tidak terdaftar sebagai penduduk kota. Dengan demikian, secara
legal, pemulung tidak memiliki status kewarganegaraan dan merupakan penduduk gelap. Oleh
karena itu, bukanlah hal yang mengherankan apabila kehadiran manusia gerobak dengan
cepat menarik perhatian para aparat, termasuk aparat kampung. Bisa dimengerti apabila ada
yang berpandangan bahwa cara hidup liar manusia gerobak merupakan bentuk dari
pelanggaran resmi kependudukan. Situasi ini semakin menekan manusia gerobak dan untuk
menghindarinya, mereka harus terus menggelandang dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Lembaga Penelitian SMERU 55
Risiko lain yang harus dihadapi oleh manusia gerobak adalah risiko sosial yang ditimpakan oleh
warga kota. Manusia gerobak berpenampilan dekil karena mereka tinggal dan bekerja di tempattempat
yang kotor dan tercemar dan warna kulit mereka hitam, terutama pada bagian tangan,
kaki, dan muka, sebagai akibat dari sengatan matahari setiap hari. Merujuk pada Murray (1994:
129), warna kulit hitam adalah warna yang tidak diinginkan karena warna ini dianggap
mengandung makna jahat dan miskin. Dengan demikian, pakaian yang kumal, tubuh yang dekil,
tempat tinggal dan tempat kerja yang kumuh, dan warna kulit yang hitam semakin mencitrakan
manusia gerobak sebagai orang-orang yang tidak diinginkan. Karena sosialisasi aparat dan
menyaksikan kenyataan sehari-hari, pada akhirnya warga kota berpandangan bahwa manusia
gerobak memiliki sifat yang tidak baik, liar, dan suka mencuri. Tidak dapat disangkal bahwa ada
pemulung yang memang suka mencuri. Kenyataan tersebut semakin menguatkan prasangka
warga kota bahwa semua pemulung adalah pencuri. Dalam prasangka mereka, kehadiran
pemulung akan membawa bahaya bagi para warga kota.
Pada saat itulah, kehadiran manusia gerobak dirasakan sebagai ancaman bagi warga kota,
terutama warga yang tinggal di kompleks-kompleks perumahan. Tak jarang apabila kemudian
kita menemukan papan pengumuman bertuliskan ”Pemulung dilarang masuk” yang
terpampang di pintu masuk kompleks perumahan. Sekiranya pun papan pengumuman
semacam ini tidak terpampang, warga kompleks perumahan telah menugaskan aparat
keamanan untuk melarang pemulung yang akan masuk. Bagi warga kota, hal-hal semacam ini
semakin memperkuat citra bahwa pemulung itu berbahaya, apalagi ancaman ini
dipertahankan dan diperkuat secara terus-menerus melalui prasangka bahwa pemulung itu
suka mencuri. Keadaan ini kemudian dijadikan sebagai dasar pijakan bagi warga permukiman
untuk mengawasi dan mengontrol para pemulung, khususnya manusia gerobak. Sebagai
akibatnya, terciptalah sebuah label bagi pemulung bahwa mereka merupakan kelompok
menyimpang yang cenderung diisolasi dari pergaulan sehari-hari. Manusia gerobak tidak
pernah diajak bicara oleh sebagian besar warga kota. Warga kota biasanya hanya mengikuti
mereka lewat pandangan mata saja dan kemudian mengabaikannya setelah mereka berlalu. Ini
menunjukkan bahwa kehadiran pemulung tidak diinginkan.
Rani mengisahkan sebuah kejadian ketika ia hendak memulung di sebuah kompleks
perumahan. Ia tidak diperkenankan masuk oleh petugas satuan pengamanan kompleks
perumahan tersebut lantaran para penghuninya mengeluh bahwa telah beberapa kali terjadi
kehilangan. Para penghuni kompleks perumahan tersebut menuding bahwa pencurianpencurian
itu dilakukan oleh pemulung. Mereka kemudian meminta petugas keamanan untuk
melarang masuk setiap pemulung. Karena tidak diperkenankan masuk, Rani lalu berkata,
Memangnya saya mengganggu Bapak? Memangnya saya maling jemuran? Kalau Bapak
tidak percaya, nanti kalau saya keluar, silakan Bapak periksa barang saya. Tapi kalau terbukti
saya tidak nyolong, maka Bapak harus membereskan barang-barang saya. (Perempuan, 41,
Jatinegara Timur II, 22 Maret 2008)
Mendengar ucapan Rani tersebut, petugas keamanan kompleks perumahan tersebut
kemudian memperbolehkannya untuk memulung di dalam kompleks perumahan. Kejadian
ini menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu, keberanian untuk meyakinkan orang lain juga
sangat dibutuhkan oleh seorang pemulung. Menurut Rani, seorang pemulung tidak boleh
patah arang meski ia dilarang masuk ke dalam suatu kompleks perumahan. Setidaknya ia akan
mendapatkan pengalaman kerasnya hidup di jalanan pada saat ia berhadapan dengan orangorang
yang melarangnya untuk memungut barang-barang bekas di suatu tempat tertentu.
Lembaga 56 Penelitian SMERU
Bagi manusia gerobak, perilaku warga kota seperti disebutkan di atas justru mereka nilai
menguntungkan. Pandangan warga kota bahwa pemulung itu liar, kumal, dan suka mencuri
semakin menjauhkan pemulung dari warga. Manusia gerobak diidentikkan dengan citra
negatif, yaitu, di antaranya, dikatakan kotor sehingga mereka harus dijauhi. Pencitraan ini
pada gilirannya akan menyebabkan warga kota tidak tertarik dengan pekerjaan sebagai
pemulung. Pekerjaan memulung tidak akan dimasuki oleh banyak orang karena stigma-stigma
yang berkembang tersebut. Pada tahap selanjutnya, hanya sedikit orang yang akan
menceburkan diri sebagai pemulung. Dan itu artinya, dalam mengumpulkan barang-barang
bekas, manusia gerobak tidak akan memiliki banyak saingan dan hanya orang-orang yang
berani hidup menggelandang saja yang akan memperebutkan sumber daya barang-barang
bekas yang melimpah ruah di kota. Di sinilah nampak kemampuan manusia gerobak dalam
memaknai gelandangan, yakni mengubah isolasi sosial menjadi taktik-taktik tertentu sehingga
pekerjaan yang penuh dengan sumber daya tersebut tidak dimasuki oleh orang lain.
Keadaan di atas menunjukkan bahwa (gaya) hidup menggelandang sesungguhnya muncul
sebagai reaksi untuk menanggapi kondisi-kondisi tertentu yang dihadapi manusia gerobak.
Bagi manusia gerobak, hidup menggelandang merupakan solusi dari berbagai masalah yang
menimpa dirinya, terutama masalah ekonomi. Dengan hidup menggelandang, manusia
gerobak merasa bebas, dapat saling berbagi dan mendukung antarpemulung, dan sekaligus
menunjukkan bagaimana cara bertahan hidup dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Pada
sisi lain, secara simbolis gaya hidup menggelandang menggambarkan sebuah proses
perlawanan terhadap makna yang diciptakan masyarakat, selain sebagai sebuah taktik untuk
mendapatkan keuntungan dalam mempertahankan hidup rumah tangga.
Lembaga Penelitian SMERU 57
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Menjadi manusia gerobak merupakan sebuah proses. Dalam proses ini pengalamanpengalaman
sebelumnya turut memengaruhi pilihan seseorang untuk bergelut dengan barangbarang
bekas. Pekerjaan-pekerjaan sebelumnya, baik yang formal maupun nonformal, dinilai
tidak memberikan keuntungan ekonomi yang berlebih untuk dapat memenuhi kebutuhan
rumah tangga. Demikian halnya dengan kebutuhan modal, risiko kerugian, termasuk kerugian
akibat penggusuran tempat tinggal, membuat manusia gerobak memilih untuk
menggelandang agar kerugian tersebut tidak terulang kembali. Pada gilirannya, pilihan
menjadi manusia gerobak lebih didasarkan pada keinginan untuk dapat menjalani hidup
secara bebas dan bekerja tidak di bawah tekanan, lepas dari kungkungan kekuasaan orang lain
yang dengan sesuka hati memerintah, mengawasi, dan memberikan target tertentu.
Dengan pengalamannya, manusia gerobak mengidentifikasi ruang dan membaca situasi dan
peluang-ancaman dan pada gilirannya, mereka akan memilih lokasi-lokasi yang dianggap tepat
dan menguntungkan bagi mereka, yaitu sebuah lokasi tinggal untuk memarkir gerobak dan
menggelar alas tidur dan lokasi-lokasi kerja yang strategis bagi mereka. Berdasarkan jadwal
yang telah mereka tentukan, manusia gerobak tahu kapan mereka harus mengembara,
memungut barang-barang bekas, dan istirahat. Pengetahuan tentang waktu-waktu memulung
yang tepat tidak saja memberikan manfaat dalam bentuk hasil memulung yang cukup, tetapi
juga merupakan taktik untuk menghindari prasangka-prasangka buruk warga kota yang
dialamatkan kepada mereka. Demikian pula halnya dengan pengetahuan mengenai ruang;
meski barang-barang bekas bisa didapat di mana saja, tetap saja ada tempat-tempat yang
diyakini memiliki sumber daya berlebih dibandingkan dengan lokasi lain. Tempat-tempat
tersebut pada gilirannya akan dikuasai dengan segala cara agar ada jaminan bagi kelangsungan
pendapatan manusia gerobak di keesokan harinya.
Menjalani hidup sebagai manusia gerobak bukanlah hal yang mudah. Pekerjaan memulung
membutuhkan kekuatan fisik, terutama bagi anak-anak yang dilibatkan. Di samping itu,
mereka harus mengenakan pakaian kumal, tak memiliki jaminan kesehatan, tidur di emper
atau gerobak, makan sebungkus nasi berdua di dekat container sampah, dan hidup tanpa
teguran orang-orang di sekeliling mereka. Hidup sebagai manusia gerobak pada awalnya
masih menyisakan persoalan tersendiri, yakni rasa malu. Seiring dengan kerutinan yang
mereka jalani, rasa malu tersebut semakin menipis dan pada gilirannya diekspresikan dalam
bentuk totalitas gaya hidup menggelandang. Penampilan diri sebagai gelandangan tak bisa
ditawar lagi dan manusia gerobak tak perlu malu lagi untuk menjalaninya meski penyingkiran
terhadap mereka terus terjadi karena kota tidak menghendaki kehadiran mereka.
Manusia gerobak menyadari situasi dan posisi mereka di perkotaan, serta narasi kehidupan
yang keras dan lebih individualis. Situasi ekonomi rumah tangga yang berada dalam
ketidakpastian membuat jaminan pemenuhan kebutuhan pokok sulit untuk diperkirakan.
Menggantungkan pemenuhan kebutuhan pokok mereka pada negara adalah sesuatu yang
mustahil dan mengharapkan warga kota untuk memberikan sumbangan-sumbangan secara
rutin pun hanyalah mimpi. Jadi, menggantungkan keberlanjutan hidup mereka kepada pihak
luar atas dasar belas kasihan merupakan sebuah utopia dan justru membuat mereka berada
dalam posisi subordinat.
Lembaga 58 Penelitian SMERU
Satu-satunya hal yang membuat manusia gerobak merasa yakin bahwa mereka mampu
melangsungkan kehidupan di kota adalah kapasitas diri mereka. Manusia gerobak dengan
kapasitas yang dimilikinya dituntut untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam
memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia dan tersebar di antara aktor-aktor lain pada
tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu dalam kehidupan kota. Hubungan sosial adalah
keniscayaan untuk memperbesar kekuatan dan sekaligus kemampuan mereka, berkomunikasi
dengan yang lain, dan mengoordinasikan tindakan-tindakan mereka. Dengan aktor-aktor lain,
manusia gerobak membangun hubungan, misalnya, hubungan dengan kerabat, dengan
memanfaatkan kebiasaan-kebiasaan dalam kekerabatan seperti kebiasaan tolong-menolong
dalam kesusahan dengan sesama kerabat. Hubungan lain juga dibangun dengan sesama
pemulung dalam bentuk praktik tolong-menolong yang berpamrih untuk mendapatkan balas
budi di kemudian hari. Demikian halnya dengan hubungan dengan pemilik lapak, meski pada
dasarnya menjadi manusia gerobak merupakan upaya penolakan terhadap hubungan patronklien
yang dinilai tidak menguntungkan. Oleh karenanya, sebagai kompensasi, manusia
gerobak mengembangkan taktik manipulatif dengan mengambil keuntungan dari lapak. Selain
itu, hubungan dengan pemilik warung dibangun berdasarkan prinsip simbiosis mutualisme,
atau hubungan yang saling menguntungkan, yang akan mengokohkan kepercayaan di antara
keduanya. Hubungan tersebut memungkinkan manusia gerobak untuk dapat makan, minum,
dan merokok meski pada saat itu mereka sedang tidak memiliki uang.
Situasi kota yang tidak ramah terhadap kaum miskin, seperti adanya praktik-praktik
penggusuran, menuntut manusia gerobak untuk berani menyatakan suaranya. Namun, suara
saja tidak cukup dan tidak selalu berhasil untuk dapat mempertahankan barang-barang yang
mereka miliki. Pilihan taktik pun diarahkan pada kepura-kepuraan di hadapan aparat agar
mereka selamat. Mengalah untuk menang menjadi taktik pijakan bagi manusia gerobak. Bagi
mereka, penggarukan merupakan sebuah risiko dari pekerjaan dan kehidupan mereka. Meski
manusia gerobak terkena garuk, mereka tidak berusaha menebus gerobak mereka karena
mereka tahu bahwa selain mahal, uang tebusan tersebut ujung-ujungnya hanya akan dinikmati
oleh oknum-oknum tertentu saja. Sekiranya pun manusia gerobak menebus gerobaknya,
mereka hanya akan menjadi ladang pemerasan secara terus-menerus. Sebuah senyuman bagi
aparat yang peduli terhadap keberadaan manusia gerobak dinilai cukup tepat untuk menarik
simpati dan sekaligus menunjukkan bahwa manusia gerobak juga menghormati orang lain.
Dengan taktik tersebut, manusia gerobak bisa mendapatkan informasi tentang rencana
penggusuran oleh aparat sehingga mereka dapat pindah untuk sementara waktu pada saat
penggarukan dilakukan dan kemudian kembali lagi pada saat situasi sudah dianggap aman.
Hidup menggelandang bukan hanya merupakan sebuah keadaan yang disebabkan oleh
keterbatasan ekonomi, tetapi juga, lebih jauh dari itu, merupakan sebuah pilihan hidup.
Manusia gerobak memandang hidup menggelandang sebagai sebuah ekspresi kebebasan dan
sekaligus sebagai upaya penegasan bahwa kehidupan mereka berbeda dengan gaya hidup warga
kampung. Taktik menggelandang merupakan buah dari pengetahuan dan pengalaman yang
banyak mereka peroleh seiring perjalanan mereka, upaya untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, dan upaya untuk menghindari penggarukan yang dilakukan oleh aparat. Ketika manusia
gerobak menggelandang dengan membawa serta gerobak mereka, terkadang mereka
melakukannya dengan cara melawan arah jalan sebagai simbol perlawanan. Manusia gerobak
menyadari bahwa menggelandang bukannya tanpa risiko. Pandangan warga kota terhadap
gelandangan yang bercirikan liar, kumal, dan suka mencuri semakin menjauhkan manusia
gerobak dari warga kota. Dengan stigma-stigma yang melekat tersebut, tidak banyak warga kota
yang akan merasa tertarik untuk bekerja sebagai pemulung. Hal ini tentu saja menguntungkan
manusia gerobak. Hal ini berarti bahwa pemulung barang-barang bekas tidak akan
Lembaga Penelitian SMERU 59
mendapatkan banyak saingan dan hanya orang-orang yang berani hidup menggelandang saja
yang akan memperebutkan sumber daya barang-barang bekas yang melimpah ruah di kota.
Penelitian ini telah melihat betapa golongan miskin mampu membentuk dan mendefinisikan
kemiskinan itu sendiri dan melihat bagaimana mereka memahami situasi dan memberi makna
terhadap beragam peristiwa, membangun dan mengembangkan hubungan-hubungan dengan
aktor-aktor lain, berinteraksi dengan kondisi sekitarnya dan struktur yang ada pada
masyarakatnya, dan memperagakan berbagai taktik di tengah kemiskinan perkotaan. Taktiktaktik
tersebut tak selalu berwatak ideologis atau dilakukan secara frontal dan berpotensi
konflik. Taktik-taktik tersebut, jika kita lihat secara detail dan seksama, diterapkan dalam
praktik-praktik keseharian yang halus, meluruhkan dan melarutkan sesuatu yang awalnya
digunakan sebagai alat dominasi. Taktik-taktik tersebut diterapkan dalam rangka
mempertahankan dan melanjutkan hidup sebab manusia gerobak harus dapat mencukupi
kebutuhan utamanya, yaitu makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Melalui serangkaian pemaknaan dan penerapan taktik-taktik yang dipraktikkan manusia
gerobak, pada gilirannya golongan miskin niscaya akan menempati posisi subjek. Dengan cara
pandang manusia gerobak yang seperti demikian, kita tentu dapat melihat bahwa manusia
gerobak bukanlah sebuah representasi manusia yang statis dan tidak berdaya sebagaimana
digambarkan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Dengan paradigma yang berbeda,
manusia gerobak memiliki pandangan dan kapasitas yang memungkinkan mereka untuk
mampu menghadapi perubahan-perubahan dan tekanan-tekanan kota Jakarta.
Pendekatan subjektif seperti ini, yaitu melihat kemiskinan dari kacamata golongan miskin
sebagai subjek yang aktif dan kreatif, tentu berbeda dengan cara pandang pendekatan budaya
kemiskinan yang melihat bahwa golongan miskin itu menjadi miskin karena sebuah budaya
yang menyebabkan mereka tidak berinisiatif untuk keluar dari kemiskinan. Dalam hal ini,
terlihat jelas bahwa budaya kemiskinan merupakan penilaian orang luar yang menempatkan
kaum miskin sebagai manusia yang pasif dan statis serta memiliki budaya yang khas, berbeda
dengan budaya golongan bukan miskin. Cara pandang pendekatan subjektif terhadap
kemiskinan dalam penelitian ini pun berbeda dengan cara pandang pendekatan kemiskinan
struktural yang melihat bahwa kemiskinan itu dilanggengkan melalui struktur-struktur sosial
yang terus mengungkung golongan miskin sehingga mereka tiada lain hanyalah robot-robot
yang senantiasa terkendali.
4.2 Implikasi Kebijakan
Berangkat dari hasil-hasil penelitian ini, penulis memandang bahwa kebijakan-kebijakan
penanggulangan kemiskinan, khususnya di perkotaan, sudah saatnya direvisi agar lebih efektif.
1. Kemiskinan perkotaan di Indonesia–khususnya Jakarta–tidak dapat ditanggapi semata-mata
dengan konsep masyarakat dan kebudayaan distingtif, sebagaimana dianut oleh paradigma
struktural yang memandang orang miskin sebagai kelompok yang khas dengan batas-batas
tegas dan berbeda dengan golongan lain yang tidak miskin. Pada kenyataannya, atributatribut
kemiskinan senantiasa bergerak dan dinamis, direproduksi berdasarkan konteks dan
merupakan bagian dari taktik-taktik golongan miskin dalam menghadapi perubahan situasi
sosial kota dengan tujuan mempertahankan kehidupan. Dengan demikian, mengukur
kemiskinan tidak bisa lagi dilakukan dalam rentang waktu yang relatif lama karena golongan
miskin senantiasa bergerak sesuai konteks yang mereka hadapi.
Lembaga 60 Penelitian SMERU
2. Integrasi sosial golongan miskin yang terwujud akibat paradoks-paradoks status sosial
dan ekonomi sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini mengakibatkan semakin
sukarnya membangun program-program penanggulangan kemiskinan, khususnya di
perkotaan Indonesia. Selain batas-batas yang kabur antara golongan miskin dan golongan
tidak miskin, populasi orang miskin di perkotaan juga sangat besar dan banyak terdapat
variasi di dalamnya. Penanggulangan kemiskinan di perkotaan Indonesia banyak
meminjam pendekatan terhadap kemiskinan yang berlaku di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat yang memandang bahwa orang miskin merupakan kaum minoritas,
memiliki ras yang khas, dan memiliki sejarah perbudakan di masa silam. Oleh karenanya,
model-model usulan Mukherjee (1999) dan Mukherjee, Harjono, dan Carriere (2002)
yang menanggapi orang miskin sebagai kelompok sosial yang perlu diberdayakan dan
difasilitasi selayaknya ditinjau kembali karena hal tersebut justru memperkuat label orang
miskin yang inferior; hal ini jelas terlihat pada pembedaan antara siapa yang mendapatkan
bantuan program dan siapa yang tidak. Dalam situasi seperti dijelaskan di atas, programprogram
jaminan sosial yang bersifat universally-targeted, atau diperuntukkan bagi semua,
sepertinya layak untuk dipertimbangkan, tentu saja dengan mengesampingkan atau
memudahkan aspek administratif bagi golongan miskin dengan menyediakan informasi
yang memadai.
3. Untuk mempertegas posisi golongan miskin sebagai subjek, baik dalam kajian maupun
dalam program, tidaklah cukup dengan hanya menangkap suara mereka melalui
wawancara atau diskusi kelompok saja. Suara golongan miskin seyogianya tidak lagi hanya
dimaknai sebagai kalimat yang keluar dari mulut mereka saja, tetapi juga dimaknai secara
lebih luas sebagai praktik keseharian, simbol, dan juga kalimat golongan miskin yang
mengekspresikan kehidupan mereka. Hanya dengan cara mendalami suara-suara tersebut,
posisi golongan miskin sebagai subjek kemungkinan besar akan dapat diwujudkan.
Dengan demikian, pendataan BPS dengan menggunakan model subjektif, baik mikro
maupun makro, seperti yang selama ini dilaksanakan dan juga beberapa metode
partisipatif sudah selayaknya diubah dengan memberikan porsi yang signifikan kepada
golongan miskin untuk menyampaikan aspirasinya.
Lembaga Penelitian SMERU 61
DAFTAR ACUAN
Alfian, Mely G. Tan, dan Selo Sumarjan (1980) Kemiskinan Struktural. Suatu Bunga Rampai.
Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
Alkostar, Artidjo (1986) Potret Kehidupan Gelandangan, Kasus Ujung Pandang dan Yogyakarta.
Dalam Gelandangan: Pandangan Ilmuan Sosial. Jakarta: LP3ES.
———. (1984) Advokasi Anak Jalanan. Jakarta: Rajawali Press.
Azrul, Azwar (1990) Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Mutiara.
Baker, David (1980) Memahami Kemiskinan di Kota. Jakarta: Prisma, 6 (8), halaman 3-8.
Barker, Chris (2005) Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckman (1990) Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Creswell, J. W. (1994) Research Design Qualitantive & Quantitative Approaches. London: Sage.
de Certeau, Michel (1984) The Practice of Everyday Life. Berkeley: University of California Press.
Djuwendah, Endah et al. (2000) Analisis Keragaan Ekonomi dan Kelembagaan Penanganan Sampah
Perkotaan, Kasus di Kotamadya Bandung, Jawa Barat. Bandung: Lembaga Penelitian UNPAD.
Douglas, Marry (1966) Purity and Danger. London: Routledge and Kegan Paul.
Ellis, Frank (1998) ‘Survey Article: Household Strategies and Rural Livelihood
Diversification’ [Artikel Survei: Strategi Rumah Tangga dan Diversifikasi Penghidupan
Pedesaan]. The Journal of Development Studies 35 (1): 1–38.
Evers, Hans Dieter (1986) Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan
Malaysia. Jakarta: LP3ES.
———. (1980) Produksi Subsistensi dan Masa Apung di Jakarta. Jakarta: Prisma. No. 6, Juni 1980.
Gardner, Katy dan David Lewis (2005) Antropologi, Pembangunan dan Tantangan Postmodern.
Maumere: Ledalero.
Geertz, Clifford (1992) Tafsir Kebudayaan. (Alih Bahasa oleh Fransisco Budi Hardiman).
Yogyakarta: Kanisius.
Geertz, C. (1963) Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. Berkeley:
University of California Press.
Geertz, Hildred (1983) Keluarga Jawa. Jakarta: Graffiti Pers.
GAPRI (2005) Empat Pilar Demokratisasi, Melawan Kemiskinan Pemiskinan. Jakarta: GAPRI.
Lembaga 62 Penelitian SMERU
Hammersley, Martin dan Paul Atkinson (1983) Etnography: Principles in Practice. London: Tavistock.
Harijono, Try (2001) ‘Mereka Manusia, Bukan Kumpulan Angka.’ Kompas 14 Agustus.
Jellinek, Lea (1994) Seperti Roda Berputar Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta. Jakarta: LP3ES.
Kayam, Umar (1986) Mengapa Hidup Menggelandangan? Dalam Gelandangan: Pandangan Ilmuan
Sosial. Jakarta: LP3ES.
Lewis, Oscar (1988) Kisah Lima Keluarga Telaah Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Lewis, O. (1961) The Children of Sanchez. New York: Random House.
Lewis, O. (1966) The Culture of Poverty. Scientific American, 25, 4: 19-25.
Marzali, Amri (2005) Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Renada Media.
Moleong L. J. (2001) Metodologi Penelitian Kualitatif (Cetakan Keempat Belas). Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mukerjee, N. (1999) Consultation with the Poor in Indonesia. Country Synthesis Report. Jakarta.
The World Bank.
Mukerjee, N., J. Harjono, dan E. Carriere (2002). People, Poverty, and Livelihood: Links for
Sustainable Poverty Reduction in Indonesia. Jakarta: The World Bank dan DFID.
Muladi, Sipon (2002) Seluk Beluk Para Pemulung di Samarinda dan Sekitarnya. Samarinda:
Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman.
Murray, Alison, J. (1994) Pedagang Jalanan dan Pelacur Jakarta. Sebuah Kajian Antropologi Sosial.
Jakarta: LP3ES.
Nash, Peter J. M. (1986) Kota di Dunia Ketiga, Teori Sosiologi dan Kota. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Onghokham (1986) Gelandangan Sepanjang Zaman. Dalam Gelandangan: Pandangan Ilmuan Sosial.
Jakarta: LP3ES.
Papanek, Gustav dan Dorodjatun Kuntjoro Jakti (1986) Penduduk Miskin di Jakarta dalam
Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rebong, Jacob, Anthony Elena, dan Masmiar Mangiang (1993) Ekonomi Gelandangan: Armada
Murah untuk Pabrik. Dalam Parsudi Suparlan (ed.) Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Republika (2001) ‘Manusia Gerobak.’ Republika 21 Nopember.
Saifuddin, Achmad Fedyani (2005) Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma. Jakarta: Prenada Media.
Lembaga Penelitian SMERU 63
Saifuddin, Achmad Fedyani (2007) Integrasi Sosial Golongan Miskin di Perkotaan: Pendekatan
Kualitatif Mengenai Kemiskinan. Kertas kerja dalam Lokakarya GAPRI. Jakarta.
Sajogyo (1978) ‘Golongan Miskin di Pedesaan.’ Dalam Kemiskinan Di Tengah Deru
Pembangunan. Bandung: Pustaka: 8–13.
Scheper-Hughes, Nancy (1992) Death Without Weeping: The Violence of Everyday Life in Brazil.
Berkeley: University of California Press.
Scott, James (2001) Senjatanya Orang-Orang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
———. (1997) Sejarah menurut yang Menang dan yang Kalah dalam Perlawanan Kaum Tani. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
———. (1983) Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES.
Sen, Amartya (1999) Development as Freedom. New York: Oxford University Press.
Siegel, James T. (1980) Anak-Anak dalam Keluarga. Dalam T.O. Ihromi (ed.) Pokok-Pokok
Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soedjatmoko (1983) Dimensi Manusia Dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Strauss, A. dan J. Corbin (1990) Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and
Techniques. London: Sage.
Suharto, Edi (1997) Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran.
Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-STKS.
Sullivan, John (1992) Local Government and Community in Java: An Urban Case Study. Singapura:
Oxford University Pers.
Suparlan, Parsudi (1993) Orang Gelandangan di Jakarta: Politik pada Golongan Termiskin. Dalam
Parsudi Suparlan (ed.) Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
———. (1986) Gelandangan: Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam Gelandangan:
Pandangan Ilmuan Sosial. Jakarta: LP3ES.
Twikromo, Y. Argo (1999) Pemulung Jalanan Yogyakarta. Yogyakarta: Media Presindo.
Valentine, C. (1968) Culture and Poverty: Critique and Counter Proposal. Chicago: University of
Chicago Press.
Warta Kota (2005) ‘Masyarakat dan Aparat Pemerintah Sudah Tidak Peduli Lagi.’ Warta Kota 6 Juni.
Wirosardjono, Soetjipto (1986) Gelandangan dan Pilihan Kebijaksanaan Pembangunan, dalam
Gelandangan : Pandangan Ilmuan Sosial. Jakarta: LP3ES.
Wiroutomo, Paulus (1994) Sosialisasi Keluarga dan Perubahan Sosial, Prisma No. 6 Tahun 1994.
Jakarta.
Lembaga 64 Penelitian SMERU
Wurdjinem (2001) Interaksi Sosial dan Strategi Survival Para Pekerja Sektor Informal. Jurnal
Penelitian UNIB Vol VII, No. 3, Desember. Bengkulu.
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 31/1980, LN. 1980-51.