Jumat, 06 Agustus 2010

CERPEN LELAKI SUNYI

Lelaki Sunyi

Cerpen Syarif Hidayatullah
Dimuat di Seputar Indonesia 05/10/2009 Telah Disimak 334 kali


Hujan di luar begitu derasnya, mengajakku mengenang masa lalu. Karena seperti hujan runtuh, kenangan di hatiku pun tiba-tiba runtuh dan terus memburu kemudian keluar dari long term memoryku berupa kepingan-kepingan peristiwa masa kecilku; tentang burung, tentang sawah, tentang kali serta tentang lelaki sunyi di tepi kali
.
Dulu, saat aku masih sekolah dasar, aku dan teman-temanku senang bila hujan datang Meski saat itu kami tak pernah membawa payung tetapi kami membawa plastik. Bagi kami akan sangat buruk bila kami tak membawa plastik. Karena plastik kami adalah tempat menyimpan sepatu dan tas kami.

Bila tidak menyimpan di dalam plastik, tentu saja orangtua kami akan marah dan besoknya kami tak sekolah. Sebab, tas dan sepatu ini satu-satunya milik kami dan tentu karena masih ada memar dan sakit di telinga, dada atau di pangkal paha kami, bekas cubitan yang menurut Makku adalah cubitan kasih sayang.

Aku percaya cubitan itu adalah cubitan kasih sayang, karena cubitan itu selalu berwarna merah, tak sampai membiru kehitamhitaman. Tapi, ini pun begitu sakit rasanya. Percayalah. Kami selalu membiarkan tubuh kami kuyup oleh air yang runtuh dari jantung langit. Kami selalu menari-nari di kecipak air yang menggenang seperti hujan yang juga menari bersama kami.

Sepanjang perjalanan kami melewati gang-gang serta jalan setapak yang terkadang licin dan itu membuat kami kadang sulit berpijak. Sebetulnya rumah kami cukup jauh, lebih dari satu kilo dan setengah jam bila kami lalui dengan berjalan kaki. Tapi, bila dilalui dengan penuh canda, lelah dan waktu yang lama itu seperti kopi pahit yang larut dalam manisnya susu.

Tak terasa, yang terasa kemudian hanya nikmat saja. Begitulah hingga akhirnya kami harus melalui bentangan sawah dan empang yang terdapat di kanan-kiri jalan setapak yang harus kami lalui. Di sinilah tarian hujan akan tampak menyenangkan dipandang. Satu titik dengan titik lain seperti saling memburu dan membentuk gelombanggelombang kecil di permukaan empang. Atau pada sawah akan kami dapatkan beberapa belut keluar dari lubangnya.

Namun kami harus berhati-hati bila petir terus menerus menyambar dengan kilat yang menggaris langit dengan gemuruh suara yang terkadang mengagetkan kami. Kami harus menunggu hingga petir tak begitu banyak, barulah setelah itu kami akan berlari sekencangkencangnya hingga akhirnya menemui kali yang tersusun dari dua batang pohon kelapa.

Kami kemudian menyusurinya secara perlahan, sebab bila hujan, air kali yang kecokelat-cokelatan itu akan meruak hingga batang jembatan kami itu tak terlihat sama sekali. Setelah berhasil melewati jembatan itu, kami akan mengarahkan pandangan kami ke tepi kali sebelah kanan dari tempat kami berdiri, tepat kepada lelaki yang duduk di tepi kali. Kemudian kami melemparinya dengan benda-benda yang ada di sekeliling kami.

Mula-mula Badrun mengambil ranting rambutan yang cukup besar kemudian melemparnya tepat di hadapan lelaki itu, kemudian Sukma melemparinya dengan tanah basah dan terakhir aku melempar pun dengan tanah basah. Kami tak pernah mengarahkan lemparan kami ke tubuh lelaki itu, hanya kecipak air yang menerpa pakaian atau kepalanyalah yang kemudian membuat kami tertawa.

Kami selalu menunggu reaksi lelaki itu, meski kami tahu lelaki itu tak akan memberikan reaksi apa-apa selain sunyi. Maka dari itu kami menyebut lelaki itu lelaki sunyi. Melempar lelaki sunyi sudah seperti ritual kami, mirip ritual yang ada di Mekkah, kalau tak salah namanya Jumratul Aqabah.

Bedanya mungkin kami tak melempar sesuatu yang dilambangkan setan, namun seseorang yang dibalut oleh kesunyian. Suatu hari aku pernah menceritakan hal ini kepada Mak. Tetapi Mak kemudian dengan cubitan “kasih sayang”-nya itu menjawab tepat di hatiku, lebih tepat lagi di dadaku. Aku meringis kesakitan bukan kepalang. “Jangan mengganggu orang yang tak bersalah, nanti mendapatkan karmanya, ” ujar Mak kemudian.

Aku mendengarnya sambil melihat bekas merah di dada, tanda cinta Mak. Aha! sakit sekali. Entah mengapa setelah mendengar kata-kata Mak itu, aku mulai tak melempar seperti Badrun dan Sukma yang tetap menjalankan ritualnya. Aku pun mulai menasihati mereka untuk tidak mengganggu lelaki sunyi itu. Tetapi, hal itu sia-sia
.
Aku bahkan disebut mereka pengecut, banci, dan entah apalagi karena saat itu aku mulai tak peduli dan menyiapkan pukulan tepat di perut kedua temanku, sebagai pembelaan kepada lelaki itu juga pada diriku atas hinaan mereka yang tak berdasar.

Namun, akhirnya malah aku yang kemudian terkulai tak berdaya, Badrun dan Sukma menyerangku dan aku tak berdaya melawan dua orang bertubuh bulat dan gempal itu. Pada akhirnya, aku hanya melihat lelaki sunyi itu dilempari. Entah mengapa aku merasa begitu iba, seperti ada yang mengiris hatiku.

Suatu sore, aku mengintip lelaki sunyi itu dari balik rerimbunan pagar yang tak begitu jauh darinya. Ia tampak sedang memasukan cacing atau terkadang udang ke dalam kailnya yang kemudian ia mengumpan ke dalam kali lewat pancingnya. Cukup lama menunggu, tali pancing itu akhirnya bergerak ke sana-kemari, lelaki sunyi itu dengan sigap berusaha menarik ke permukaan.

Mungkin umpannya telah disergap oleh ikan. Entah ikan apa. Tetapi kemudian aku segera tahu itu bukan ikan. Sebuah sampah plastik yang terangkat, aku kemudian tertawa melihatnya. Mendengar tawaku, ia mencari keberadaanku. Aku segera muncul dari balik pagar dan mendekat kemudian duduk di sampingnya.

Aku berharap akan banyak bercakap dengannya, tapi sekian lama aku duduk di sampingnya sampai aku dilumuti oleh sunyi. Lelaki itu tetap diam tak berkata, bahkan melirikku pun tidak. Aku kesal dan meninggalkannya. Setelah aku sampai di rumah. Aku menceritakan hal ini pada Mak. Mak tersenyum dan berkata.

“Ia tuli dan bisu sejak lahir. ” Aku terkejut saat itu. Meski aku tak tahu arti tuli dan bisu bagi manusia. Tetapi kini, ketika aku sudah berhari-hari mondar-mandir mencari kerja, barulah aku tahu arti tuli dan bisu itu. Aku menyesal pernah melemparnya dengan tanah basah yang kemudian air kali membasahi pakaian atau bahkan kepalanya.

Aku benar-benar menyesal telah melakukannya saat itu. Hujan di luar masih deras sekali menerpa tanah hingga basah, menerpa genting hingga berdenting, menerpa hatiku yang kemudian melahirkan kembali kenangan itu. Aku masih ingat betul, saat hujan deras sedang bel telah berdentang menandakan pulang, Badrun dan Sukma segera berkemas dan siap untuk pulang. Aku diajak mereka.

Namun aku menolaknya. Mereka pun pergi saat hujan begitu deras dan petir dengan kilatnya terus menerus melukis jantung langit. Esoknya, aku tak bertemu Badrun dan Sukma. Entah mengapa mereka tak datang ke sekolah. Seingatku mereka telah mengemasi tas dan sepatu mereka ke dalam plastik. Tapi mengapa mereka tak datang ke sekolah?

Aku menjadi begitu khawatir sebab sebentar lagi ujian. Sampai berhari-hari mereka tak muncul juga, aku ingin menjenguk Badrun dan Sukma, tapi Mak menuduhku hanya membual saja. Mak tak mau nilaiku anjlok, oleh karena itu ia melarangku untuk bermain. Aku menjadi begitu kesepian tanpa mereka, terutama saat pulang.

Aku hanya sendiri dan merasa waktu menjadi begitu lamban kulalui. Tetapi bila sampai di tepi kali, aku akan sangat bahagia karena lelaki sunyi itu tak akan mereka lempari. Sampai ujian selesai Badrun dan Sukma belum juga muncul. Tetapi pada suatu hari mereka berdua datang ke sekolah bersama orangtua mereka. Aku mendengar dari mereka bahwa mereka akan melakukan ujian susulan.

Aku bersyukur akan hal itu, itu berarti aku akan tetap sekelas bersama mereka meski terkadang hal ini sangat menyebalkan. Ketika bel sekolah berdentang, orang tua Badrun dan Sukma tak ada. Ternyata mereka telah pulang terlebih dahulu tapi Badrun dan Sukma masih mencarinya hingga akhirnya mereka berdua merasa telah pasti ditinggal.

Baru kali ini aku melihat Badrun dan Sukma mencari orang tuanya hanya untuk pulang sekolah. Sepanjang perjalanan mereka hanya berdiam diri tak seperti biasanya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka, aku ingin tahu mengapa mereka tak masuk sekolah. Tetapi aku menjadi enggan menanyakannya kepada mereka. Hingga akhirnya kami sampai di pematang sawah.
Badrun dan Sukma tampak sangat ketakutan. Dari keningnya muncul butiranbutiran keringat sebesar biji jagung. Entah mengapa. Tapi kemudian aku mendapatkan jawabannya. “Kau tahu mengapa kami tak masuk selama berhari-hari?” ujar Badrun mengawali pembicaraannya. Aku menggelengkan kepalaku. “Tapi, kau janji harus merahasiakan ini dari siapa pun!” lanjutnya sambil memperhatikan wajahku lekat-lekat. Aku menjawabnya dengan anggukan kepala.

“Kami sakit karena Karma, ” ujarnya berbisik di telingaku. Aku tertawa mendengar hal itu. Bukankah mereka tak percaya pada karma? “Selama berhari-hari badan kami panas, ” lanjut Badrun membuat tawaku berhenti. “Aku tak pernah merasakan tubuhku sepanas ini. ” “Benar, tetapi dokter hanya menyebut kami terkena demam belaka akibat kehujanan, ” lanjut Sukma. “Ini karena Badrun yang mengajakku melempar lelaki sunyi itu dengan tanah basah tepat ke tubuh dan kepalanya. ” Aku terperangah mendengar kata-kata Sukma. Aku membayangkan bagaimana pakaian dan kepalanya kotor oleh tanah basah. Aku tak sanggup membayangkannya. Aku sungguh iba.“Kau tahu lelaki sunyi itu bereaksi. Ia menggumam begitu kencang tetapi kami tak mengerti kata-katanya. Kami hanya takut dan kemudian berlari sekencangkencangnya, ” lanjut Sukma. Percakapan kami kemudian terhenti karena kami telah sampai di tepi kali dan bersiap menyeberang di atas dua batang kelapa.

Badrun dan Sukma berebut untuk saling mendahului dan setelah menyeberangi kali aku lihat mereka berlari sekencang-kencangnya. Tetapi aku diam, berdiri di tepi kali sambil melihat lelaki sunyi itu, tetap sunyi di tepi kali. Begitulah lelaki sunyi itu membiarkan waktu membungkusnya dalam kesunyian. Aku tahu dari Mak beberapa waktu setelah itu, lelaki sunyi itu bernama Pak Kisman.

Pak Kisman tak pernah memarahi atau melawan kami sebab ia telah kehilangan anak seusia kami karena sakit. Lelaki itu tak mampu membeli obat atau bahkan membawanya ke dokter. Hasil memancingnya hanya cukup untuk makan dan penghasilan istrinya yang menjadi pembantu itu pun habis untuk membayar utang. Namun, kini aku tak akan menjumpai lelaki sunyi itu karena sawah dan bahkan kali itu telah tiada, telah rata oleh tanah. Sebentar lagi mungkin akan dibangun perumahan yang memang telah menjamur di kota kami.

Hujan masih belum reda, rintik-rintiknya masih terus menari. Sudah semalaman. Mungkin banjir akan segera tiba ke rumah ini. Aku bersama warga sekitar sini sepakat bahwa banjir ini terjadi akibat kali kami yang telah tiada, tetapi tidak bagi Badrun dan Sukma, ini karma. ***


Wismasastra, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar